Thursday, December 3, 2015

Musim Hujan

Dua helai rambut dan lima bulir keringat
Sama-sama meluncur di keningnya
Dan angin kencang yang membawa H2O melambaikan keduanya
Bubar
Mungkin sama-sama rindu turun ke bumi

Thursday, November 19, 2015

Jelang yang Kedua (Thanks to The Rain)

Empat hari lagi, tepat 2 tahun resmi bersama Pak Alif. Tiba-tiba inget kalau kemarin The Rain katanya ngeluarin single yang judulnya 'Penawar Letih'. Jadi single ini adalah single ketiga dalam rangkaian trilogi single mereka tentang kisah hidup (yang keluar dengan selisih 1 tahun per single-nya); yang dibuat The Rain setelah dua single fenomenal buat para single (halah #singleception gini). 

Single pertama mereka yang dibuat feat. Endank Soekamti 'Terlatih Patah Hati' sukses bikin saya ngakak dengan lirik dan video klip-nya. Toh, patah hati memang mesti ditertawakan. Biar waras. Hehehehe... Single kedua yang judulnya 'Gagal Bersembunyi', ini mah cewek banget. Menarik sih mereka yang laki-laki semua berusaha menyelami perempuan yang suka sentimentil sama kenangan.

Trus jadi penasaran dong single ketiganya seperti apa. Akhirnya pagi ini saya buka Youtube dan langsung nonton videonya. Duhhhh.... apalah ini malah nangis nontonnya. Hahahahaha... Kok yang kayak dekeettt banget sama kehidupan sehari-hari. Manalah semacem pas moment-nya karena mau anniversary. Ternyata, kali ini temanya (menurut penafsiran saya) ya buat pasangan.


Dengan latar kereta commuter line di pagi hari, jadi kebayang gimana suami (dan saya) menjalani rutinitas kami. Walaupun ya kalau pagi mah mana bisa duduk manis gitu di kereta ya. Tapi, itu kereta relasi arah Jakarta Kota (keliatan pas stasiun Juandanya). Hahahha... pas... Apa yang bikin jadi mellow itu ya kata-katanya.

berangkat dari pagi buta
hingga malam datang menyapa
namun hilang semua letihku
melihat senyuman itu

walau terkadang kau juga menyebalkan
namun tak mengurangi teduh tatapan

tetaplah menjadi penawar letihku
dan aku berjanji slalu menjagamu


Liriknya ya ampun ke-rumahtangga-an banget itu. Walau terkadang kau juga menyebalkan namun tak mengurangi teduh tatapan. Hahahahaha.... Ya, namanya pun hidup bersama ya pasti suka ada lah riak-riak ribut seru lucu gitu. Serius deh, berasa dapat early anniversary gift dari The Rain. 

Hmmm.... langsung mikir: mau nyusulin suami ke kantornya naik commuter line. Lebaayyy deh gueee... Hahahaha

Thursday, October 1, 2015

SEA Trip 4: Cha Am and Hua Hin are Just Way too Cute!

Gara-gara mesti ngumpulin topik untuk reading course, jadilah tertunda ini ulasan soal Cha Am dan Hua Hin. Padahal, ini bagian paling favorit dari trip 9 hari saya bersama suami. Kenapa Cha Am? Karena saya dan suami pingiiinn banget pergi ke Santorini. Tapi, berhubung belum ada anggaran ke sana, jadilah ketika kami dengar kalau Thailand punya taman bertema Santorini kami semangat untuk datang. Jadi, setelah browsing sana sini soal Santorini Park dan objek di sekitarnya kami putuskan untuk menghabiskan waktu 2 malam di Hua Hin, kota yang jaraknya sekitar 20 km dari Cha Am.

How to get there?
Gampang! Naik aja van yang ada di dekat BTS Victory Monument. Kalau cuma sampai Cha Am tarifnya THB 160 dan kalau bablas sampai Hua Hin jadi THB 180. Alternatif transportasi lainnya bisa dilihat di sini.  Kemarin kami memutuskan naik van karena itu yang termudah.


Day 1: Santorini Park, Camel Republic, Swiss Sheep Farm, Chat Cai and Chatsila Market

setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, pak supir menurunkan kami tepat di Pony Valley Farm (tempat wisata juga tapi nggak tau sepi gitu) di sebrang Santorini Park. Jadi, kami harus nyebrang jalan yang ternyata highway lagi; dan yang ini lebih gede dari highway di Melaka waktu itu. Kincir raksasa yang terpampang di pintu depan atraksi wisata ini langsung bikin kami semangat foto-foto. Terlebih, saat itu matahari tidak seterik cerita orang-orang, bahkan cenderung mendung. Alhamdulillah....

Santorini Park rasa mendung

Setelah membeli tiket masuk sebesar THB 150 (termasuk tiket masuk Camel Republic yang jaraknya 2 km dari Santorini Park), kami pun masuk. Trus gimana kesannya? Aku agak kecewa kakak..... Kenapa? Soalnya ternyata lagi-lagi kami dapat lokasi wisata yang sedang direnovasi.

Btw, Santorini Park ini lokasi wisata apaan sih? Jadi, sebenarnya, isinya adalah jajaran toko yang didesain menempati keliling tempat wisata. Walau isinya toko-toko, tapi banyak spot foto bagus yang bikin kita tiap melangkah akan berhenti-berhenti dulu. Jadi, bisa sih kalau iseng sampai 2 jam-an di tempat ini. Tapi saran kami sih, nggak usah terlalu lama. Ada lokasi wisata lain yang lebih menarik.

Yeay dapet juga tiketnya

Lucu kan spot-nya

Seru foto-foto plus mampir ke toko GTH (buat yang suka film thai pasti tau)

Setelah puas foto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi kedua yaitu Camel Republic. Gimana ke sananya? Jalan kaki aja dong. Lokasi Camel Republic ini di sisi sebrang Santorini Park, jadi jangan lupa menyebrang lagi. Dan, lumayan capek juga berjalan 2 km di tengah hari bolong. Review Camel Republic gimana? Konsepnya agak tanggung juga, tapi kalau suka liat dan kasih makan binatang... boleh lah. Arsitekturnya juga lucu ala ala Timur Tengah.

Camel tapi ada dombanya. Hihi... Kece toiletnya jadi saya selfie

Kami cuma sebentar saja ke Camel Republic karena sudah kelaperan dan belum menemukan makanan halal dan tempat sholat. Jadi...kami langsung berencana 'ngebut' ke lokasi wisata berikutnya yaitu Swiss Sheep Farm lalu buru-buru ke kota Hua Hin dan mencari tempat sholat. Jarak 1 km dari Camel Republic ke Swiss Sheep Farm kami tempuh lagi dengan berjalan kaki. Ternyata, di sebrang Swiss Sheep Farm ada makanan halal sehingga kami mampir sebentar ke sana. Sayangnya, penampakannya kurang menyenangkan sehingga kami makan benar-benar hanya mengganjal perut dan minum banyak air serta mampir ke rest area di sebelahnya untuk beli mangga muda yang ternyata maniiisss dan segar.


Selesai mengganjal perut, kami menyebrang ke Swiss Sheep Farm. Daaaannnn.... langsung sukaaaa.... Swiss Sheep Farm ini akhirnya jadi lokasi terfavorit kami di Cha Am. Meski tempatnya tidak terlalu luas, tapi konsepnya jelas dan indah. Siang itu juga, amazingly sejuk, jadi bahagia beneuurr.... Jadilah kami foto-foto lebay. Oia, untuk masuk ke sini, kami bayar tiket THB 120 per orang termasuk tiket kasih makan domba-domba lucu. Ini dia foto-fotonya.


Nuansa peternakan modern lengkap dengan dekor ala Halloween

Gimana nggak tiap liat objek foto coba kalo lucu gini?

Kan lucu kan bisa kasih minum domba sembari foto-foto lagi

Bagus-bagus kan? Tapi, target kami keluar dari tempat itu pukul 15:45 padahal kami tiba pukul 14:50. Kenapa? Karena bus terakhir ke Hua Hin adanya pukul 16:00. Sedih sih, karena kelamaan di Santorini jadi kurang puas di Swiss Sheep Farm, tapi daripada kami nggak bisa ke Hua Hin kan.

Sekitar pukul 15:45 kami keluar Swiss Sheep Farm daaannn.... nggak dapet bus aja gitu. Memang busnya jarang-jarang lewatnya. Akhirnya, suami saya lambai-lambai tangan dan alhamdulillah ada van yang berhenti dan mau mengangkut kami sampai ke jalan penginapan di Hua Hin dengan tarif THB 50 per orang.

Sampai di Hua Hin, kami beberes. Kami menginap di Baan Taweesuk Guest House. Lokasinya memang masuk gang, tapi strategis karena dekat dengan Pasar Malam Chat Cai dan Chatsila Market. Tinggal nyebrang jalan besar dan keriaan sudah nampak. Jadi, setelah kami sholat, mandi dan beberes... karena lapaarrr yang sudah tidak bisa ditahan, setelah maghrib kami langsung jalan kaki ke pasar malam. 

Di ujung pasar malam ini, tepatnya di Soi 72, ada 2 tempat makan halal, tapi tutup sekitar pukul 20:00. Di sana kami pesan tom yum dan telur dadar, lengkap dengan nasi putih tentunya. Sudah pasti ludes karena dari siang belum makan beneran. Oh iya, kalau makan di Hua Hin pesen telur dadar ya... enak bangeettt, beneran deh... apalagi makan pake nasi sama tom yum itu udah paling bener buat perut orang Indonesia.

Tinggal pilih mau ke Chat Cai yang di pinggir jalan dulu atau masuk ke Chatsila market yang ada di lorong-lorong jalan

Puas makan, alhamdulillah, kami lanjut jalan-jalan mengelilingi pasar malam dan beli jajanan yang semacem wajib dibeli pas ke Thailand entah di bagian Thailand manapun kita berkunjung. Iya, kami beli coconut ice cream dan mango sticky rice. Ih enak banget beli di sini, mungkin karena penampakannya bersih jadi saya langsung seneng. Hehe... Yak, jadi begitulah... kami pun menutup malam dengan jajanan manis. Berharap hari esok jauh lebih manis. Tsaaahhhh....



Day 2: Masjid Darul Muhayireen, Plearn Wan Market, Cicada Market

Keesokan harinya kami pindah penginapan? Kenapa? Entahlah kenapa yang jelas itu keputusan buruk untuk menginap di Giulietta e Romeo. Jauuuhhh dari mana-mana walau lokasinya di pinggir jalan. Sepertinya waktu itu kami kepikiran mungkin akan asik ketemu orang Italia. Eh nyatanya dooohhh pengalaman nggak enak nih karena ternyata penginapan ini semacem niat nggak niat bukanya. Jadi, ceritanya ini adalah penginapan yang menyatu dengan restoran pizza dan masakan Italia. Memang yang punya penginapan jago bahasa Inggris dibanding orang lokal tapi soal pelayanan, well...kayak penginapan belum jadi. Payah. Kami harus pindah-pindah kamar dan petugasnya tidak ada yang stand by ketika kami butuh bantuan. Oh dan di hari check out, akhirnya kami tinggalkan saja kunci kamar tergantung begitu saja. Beneran, gak ada orang cyiin. Kacau.

Untunglah dari kapan tau kepikiran untuk sewa motor sehingga kami leluasa untuk bepergian kemana-mana jadi bisa menghibur kami yang terlanjur kecewa dengan penginapannya. Oia, coba cek di sini kalau mau sewa kendaraan. Emailnya juga aktif dan responsif pengelolanya. Dengan biaya sewa sebesar THB 200 untuk 24 jam (iya kalau sewa jam 10 pagi, kembalikan jam 10 pagi esok harinya) dan uang deposit THB 1000 kami memilih Honda Scoopy warna hitam lengkap dengan pinjaman 2 buah helm.

Kebetulan hari itu adalah hari Jumat (walaupun musafir ya tetap pingin ngerasain jumatan di negara lain), motor yang kami sewa sangatttt berguna. Kenapa? Ini karena saat kami sarapan nasi goreng di warung halal (di Soi 72 tepat di depan lokasi makan tom yum semalam), pemiliknya bilang kalau masjid hanya ada di Cha Am (what? balik lagi gitu sekitar 25 kilometer). Ya sudahlah... dicoba saja. Toh ini esensi perjalanan kan: mencari kedamaian dan kebahagiaan. Dan kami bahagia mencari masjid, hehehe...

Selepas segala urusan drama penginapan selesai kami baru bisa berangkat dari Hua Hin sekitar pukul 11:50 (apakabar sholat jumat baru jalan jam segitu). Rasanya campur-campur. Kesel, pengen marah-marah karena rencana nggak berjalan sebagaimana mestinya. Tapi suami menenangkan bahwa yang penting kita sudah berusaha yang terbaik, tinggal apakah rejekinya atau bukan untuk bisa ketemu jamaah sholat jumat. So, melaju lah kami di highway dengan kecepatan tinggi. Ini bukan karena niat, tapi karena suami kebawa suasana kencang kendaraan yang melintas highway dan jadi ngeri sendiri ketabrak kalau kami terlalu lamban, plus....ternyata SPEEDOMETERNYA MATI. Ya udahlah hajar aja jadinya. 

Alhamdulillah dengan panduan googlemaps kami bisa sampai di sana sekitar pukul 12:45. Lelah saya. Hehehe... Oia, ancer-ancer masjid ini kalau dari arah Hua Hin adalah di sisi kiri dan setelah melewati Hotel Dusit Thani (ini ada di kanan dan besar) ada pom bensin (di kiri) langsung berbelok masuk ke jalan setelah melewati pom bensin dan ikuti saja jalan hingga ketemu masjid. Rasanya seperti tiba di negeri antah berantah karena lokasi masjid yang ada lumayan jauh di dalam. 

Syukur alhamdulillah lagi, ternyata jumatan mulai pukul 13:00 sehingga suami bisa ikutan sementara saya santai dulu duduk di warung menunggu giliran sholat. Ahhh... benar-benar pengalaman yang bikin dag dig dug lah kejar-kejaran waktu sholat di highway dan suami planga plongo juga dengerin kutbah bahasa Thai dimana dia cuma paham arti Assalamualaikum, Allah swt dan Rasulullah saw. Hehehe... Tapi emang ya, saya dan suami suka lihat-lihat masjid kalau lagi jalan-jalan, karena selalu dapat pelajaran jadi girang-girang aja. Seperti contohnya, kami jadi bisa diajak ngobrol sama imam masjid yang ternyata jago bahasa Inggris, Melayu, dan Thai. Kami jadi bisa belajar bahwa 'hidup itu harus berguna'. Percuma punya ilmu jika tidak diamalkan. Yak, dan kami pun masih proses belajar, begitulah sodara-sodara.

Penampakan masjid dan kami yang kusam abis; berbekalkan googlemaps dan scooter sewaan

Lepas jumatan kami puter balik lagi dong ke arah Hua Hin. Kali ini hujan turun lumayan deras mengiringi jalan kami mengunjungi Plearn Wan Market. Ini sebenernya (lagi-lagi) jejeran toko bertema eco village. Kami cuma beli es fanta aja dan liat-liat karena lokasinya juga tidak terlalu luas tapi bagus banget dengan rumput sintetis yang menghiasi halamannya. 

hijau dan basah

Setelah hujan selesai kami bergegas kembali lagi ke Soi 72 (iyaaa demen banget balik ke sini) karena kami kepingin makan snack siang semodel martabak dan roti canai. Udah makan itu saja tanpa nasi dan pesannya kebanyakan sampai harus bungkus-bungkus. Enak bangettt... Dan niatnya setelah itu beberes di penginapan sebentar untuk kemudian main ke Cicada Market yang sudah diincar-incar dari jauh-jauh hari.

Makan Siang Kalap!

Malam hari tiba.... Waktunya pasar malam lagi... Dan seperti kebanyakan pasar malam besar di Thailand, Cicada ini juga cuma buka di akhir pekan (Jumat-Minggu). Jujur, ini adalah pasar malam paling mengesankan yang pernah saya kunjungi karena rapih, bersih, indah, dan bernuansa. Ya pokoknya ini pasar malam bisa bikin kita senyam senyum karena banyak hal-hal cantik di sini, baik suasana maupun barang-barangnya. Ada live music juga ya walaupun kami nggak ikutan karena harus bayar lagi. Tapi mayan lah kedengeran lagu-lagunya dari luar.

Disambut pemandangan ini di pelataran masuk weekend market

Stand-stand kreatif

Lucu-lucu ya

Saya beli sepatu lukis ini yang udah diincer dari jauh-jauh hari

Untuk makan gimana? Di Cicada nya agak ragu ada makanan halal jadi kami cuma tengak tengok aja. Tapi jangan khawatir. Kalau kita keluar dari Cicada market, ada semacam 'pasar tambahan'; penampakan awalnya sih kirain "Oh, ini pedagang yang biasa aja bukan produk kreatif kali ya". Naahhhh.... susuri aja pasar itu. Namanya Tamarind Market, sama juga bukanya hanya weekend. Di Tamarind ini ada 4 halal stand (snack friend chicken, teh tarik, makanan thai, dan makanan melayu). Belanja lah makanan di sini, enak-enak juga kok dan yang penting ayem hatinya.

Makanan halal di Tamarin market

Hmmm... menyenangkanlah ya menghabiskan weekend di Cicada Market ini dan kalau mau dapat gambar lebih ciamik enaknya datang dari sore deh.

Selesai kami jalan-jalan dan dapat jajanan plus belanjaan, kami kembali ke penginapan. Agak ragu juga harus parkir di mana motor sewaannya. Ternyata kata pemilik penginapan, motor bisa ditaro saja di jalanan asal tidak mengganggu. Beneran lho ini, panik ngebayangin gimana kalo di Indonesia motor meleng dikit aja bisa dicuri kan. Akhirnya ya udahlah ya, sambil baca-baca doa semoga itu motor aman-aman aja diparkir di jalanan.

Parkiran begini aja gak ada yang jaga. Hiks... worry aku. Gambar diambil pas sore hari

Day 3: Hua Hin Station and Khao Takiab Temple

Esok harinya, yaaaaa.... kami harus kembali lagi ke Bangkok. Kembali lagi ke sibuknya ibukota. Jadiiii... sebelum kami ikut kebawa hectic, kami bangun pagi-pagi mau nyari pantai. Sedih dong ah udah ke Hua Hin masak nggak mantai kitah.... Sama satu lagi... mau punya foto di stasiun Hua Hin yang nyeni itu.

Stasiun Hua Hin; bisa lho ke Bangkok dari sini juga naik kereta

Penampakan depan

Jadilah selesai mandi pagi masih pake baju-baju anget gitu suami melajukan motor ke arah Khao Takiab Temple. Jadi ini adalah temple yang letaknya di tepi pantai. Kami nggak masuk sih menikmati pemandangannya aja. Abisan, saya males maen-maen sama monyet gitu kalo masuk. Hehe... penakut.


Khao Takiab Temple. Cantik yaaa....
Sudah puas ambil-ambil gambar yang tadinya cuma bisa kami saksikan via internet, kami pun bergegas mencari sarapan. Kemarin sempat ketemu sama orang lokal tapi asal Melayu bahwa ada makanan halal persis di depan stasiun. Jadilah kami kembali ke depan stasiun dan lagi-lagi makan nasi tom yum pake telur dadar dan pesen teh tarik. Tapi sebelumnya, di pinggir jalan kami bertemu ibu-ibu berjilbab jualan semacem cakwe tapi manis, ya kami beli jugalah ya sambil pesan kopi susu juga. Manteeppp lah pokoknya... Nah, saat kami pesan makanan, tiba-tiba stasiun rame, ternyata ada tabrakan. Hiks... Syok akuh.... memang harus hati-hati berkendara di sekitaran stasiun ini karena jalanannya yang memang agak memutar. Syukurlah tidak ada yang serius dan ambulans bisa cepat datang.

Setelah kejadian itu, kami jadi ngerasa mesti pelan-pelan dan nggak usah ngoyo, nggak usah rusuh, se-kekejarnya aja yang penting udah usaha on time di perjalanan. Seperti di Hua Hin ini, sebenarnya banyak lokasi yang masih ingin kami kunjungi tapi waktunya nggak cukup. Masih pengen tau Sam Roi Yot National Park atau ke Wat Huay Mongkol dan melakukan banyak kegiatan lagi di sana. Ah, next time maybe ya suami...

Udah deh jadinya itu saja 3 hari 2 malam di Cha Am dan Hua Hin... selesai makan, kembali ke penginapan, beberes lagi, kembaliin motor sewaan (jangan lupa minta balik uang THB 1000 nya), trus langsung naik van yang ada dekat lokasi penyewaan motor.

And.....Bangkok... we're back!


Friday, August 28, 2015

Yang Kamu Nggak Tau

Biasanya saya semangat bicara soal traveling, tapi pagi ini enggak. Ini karena percakapan via telpon dengan ibu saya yang memang berbeda sudut pandang soal traveling. Saya kesal karena ibu tiba-tiba bilang: "Itu saudara kalo ada uang mikirinnya gimana nyantunin anak yatim piatu, lha kamu yang kepikiran jalan-jalan terus. Malu ibu." Terlebih sampai akhir weekend, adik saya pun sedang ada gathering yang isinya jalan-jalan di Malaysia dan Singapura. Jadilah ini dibahas juga. Mau membela diri tapi kalau yang namanya sudah beda stand point kan sulit.

Mungkin salah saya adalah UPLOAD FOTO DI FACEBOOK sehingga orang tua, sepupu, keluarga, dan teman-teman melihat kalau saya pulang bepergian. Dan saya nggak berpikiran kalau 'eh, nggak semua orang bahagia ketika kita bahagia lho'. Ah ya sudahlah, niat kita dan bagaimana orang berpersepsi kan bisa beda. Yang nampak di foto kan gambaran kebahagiaan, senyum ceria dengan latar tempat yang bagus-bagus dan bayangan menghabiskan uang banyak untuk tiket pesawat, hotel, makan, oleh-oleh, dan bermain-main yang semuanya nampak bak memuja kehidupan duniawi. Maka, perkataan 'menghambur-hamburkan uang saja' pun, bukan tidak mungkin menjadi kesimpulan.

Saya protes. Di sini saja. Seharusnya orang-orang sebelum berkomentar mengetahui lebih dahulu apa yang ada di belakangnya. Ah, tapi buang waktu lah ya. What you see is what you get. What's behind isn't important. Gitu kali ya.

Well, saya mulai senang traveling ketika berumur 25 tahun, yang kalau saya pikir sekarang sepertinya telat. Waktu itu saya sering pergi berdua bersama sahabat saya Shima. Destinasi pertama adalah Lombok dan Bali yang di tahun berikutnya mulai mencoba jalan ke negeri-negeri tetangga. Sampai sekarang pun masih begitu. Tipe traveling saya pun tidak berubah. Saya traveling sebisanya, sengumpulnya uang aja dan semuanya dilakukan dalam kondisi 'terjangkau', baik biaya, waktu, dan lokasi. Sumpah, nggak berboros-boros. Kenapa kadang keluar negeri? Semata karena tiketnya lebih murah. Mampunya begitu. (Jadi, tolong wahai traveler pecinta bumi Indonesia, jangan hakimi saya juga ya. Perjuangan orang beda-beda).

Kenapa saya traveling? Di umur 25 tahun itu, hidup saya bagai terkungkung. Saya punya bos yang bikin hati saya kerdil. Dan memang ada kok orang-orang yang hadir di dunia ini untuk menyiksa psikologis orang lain. Dan, saya adalah korban, sehingga di umur itu pun saya memutuskan pindah pekerjaan. Masa-masa menunggu pekerjaan baru, saya memulihkan jiwa saya dengan berlibur. Itu tadi, ke Lombok dan Bali. Sensasi bertemu orang baru, berjuang mencari jalan, berjuang bertahan hidup, hingga perasaan merindu rumah dan Kasih Sayang-Nya di perjalanan menjadi hal yang membuat ketagihan. Hingga saya pun bersedia menabung untuk traveling.

Kalau orang lain senang berganti ponsel atau belanja, saya memilih menabungnya untuk traveling. Ketika orang lain bisa bersenang-senang, saya menabung. Saya menyisihkan uang untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Menabung untuk masa depan pun saya lakukan juga. Itulah kenapa saya seringnya traveling murah. Bikin itinerary sendiri, nekat bawa uang sedikit, karena yang terpenting adalah pengalaman, bukan seberapa mewah kita berlibur. Level saya baru segitu. Impiannya tentunya: SEIMBANG: hidup nyaman, traveling enak dan lebih jauh, dan bisa berbagi serta beramal maksimal.

Orang lain tentu tidak peduli bagaimana saya menabung, bagaimana saya menghadapi apa yang suami saya bilang 'mencoba menjadi minoritas'. Orang mungkin akan berpikir: kurang kerjaan, nyari-nyari susah sendiri. Tapi yaaa.... memang beda dari sisi mana suatu hal itu dipandang.

Traveling adalah ujian prinsipil menjadi hamba Tuhanmu. Bagaimana bisa menjalankan sholat 5 waktu di lokasi yang mungkin tidak umum mengenal sholat hingga ketika nampak masjid di depan mata, rasa bahagianya bisa sampai di puncak. Iya, sholat di masjid-masjid yang berbeda itu menyenangkan dan mewarnai hidup. Kemudian, bagaimana mendapatkan makanan halal hingga terpaksa menahan lapar sampai benar-benar apa yang dikatakan Allah sebagai halal dan thayib bisa disantap. 

Traveling bisa membuat diri kita tertunduk dan mengakui kebesaran Allah. Melihat ciptaannya dan menyadari bahwa diri ini sesungguhnya hanyalah makhluk yang kecil di antara megahnya bumi Allah. Dan perjumpaan tak terduga dengan saudara-saudari sesama Muslim (bahkan berkenalan dengan Imam Masjid) menguatkan keimanan. Pun ketika bertemu dengan orang-orang dari beragam bangsa, budaya dan agama, semuanya memperkaya perjalanan hidup. Bahkan ketika kesulitan datang, bisa membuat diri ini bersyukur mengingat ada tanah air dan rumah untuk kembali sebagai tempat yang dimudahkan Allah untuk memuji-Nya.

Udah, mau bilang itu aja, kalo traveling cukup bisa bikin saya menahan emosi hanya dengan menulisnya, tanpa berteriak-teriak menyampaikan perasaan saya. Traveling justru harusnya menjadikan seseorang tidak sombong tetap merunduk karena memahami hakikat sebuah perjalanan.






Wednesday, August 26, 2015

SEA Trip 3: Finally Bangkok!

By the way, hari ini umur saya 30 tahun dan pagi tadi sudah sarapan pake red velvet cake hadiah dari suami plus secangkir milk tea, jadi sekarang masih kenyang... Ih makasih ya suami baik hati yang ngerti banget istrinya suka drama romantis dan selalu pengen dikejutkan. *siap-siap nonton Cinta di Musim Cherry* hehehehe....

Kece ya kece ya ;)

Yak, tapi saya bukan mau cerita itu. Saya mau cerita lanjutan perjalanan saya dan suami waktu liburan kemarin. Akhirnya ke Bangkok juga setelah 2 kali ke Thailand malah pergi ke Hatyai sama Krabi. Nah, setelah drama Melaka yang diredakan dengan santai-santai di Saigon, grafik emosi naik lagi pas nyampe Bangkok dong. Kenapa? Ya, namanya pun ibukota ya... jalanan ramai, orang-orangnya ngebut, dan pasang muka sibuk. Kami yang tiba di bandara Don Mueang sore hari dan naik bus A1 menuju BTS Mo Chit untuk lanjut ke BTS Sala Daeng dan jalan menuju Thrive The Hostel di daerah Patpong, jadi merasa seperti orang yang baru pulang kerja dan rebutan naik bus. Iya, kami berdiri di dalam bus yang ongkosnya cuma THB 30 dan bersisian dengan para pelancong yang membawa koper dengan wajah sungguh-sungguh sibuk. Mungkin hawa kotanya membuat kami semua seperti diburu-buru.

Kami juga sih yang memang memutuskan mau irit sehingga jika bepergian memang selalu menggunakan transportasi massal. Bikin itinerary komplit pake estimasi ongkos BTS dengan berpanduan dari website http://www.bts.co.th/customer/en/02-route-current_new.aspx jadi bisa memperkirakan biaya yang akan keluar. Nah, untuk liburan di Bangkok ini kami menghabiskan waktu 2 hari ditambah 2 hari lagi melipir ke arah pantai di Barat Daya Bangkok yaitu ke Cha Am dan Hua Hin.

Tiba di BTS Sala Daeng, kami agak kesulitan mencari lokasi Thrive The Hostel. Agak lama menemukan dan rasanya jauh. Padahal teman-teman sudah memberikan ancer-ancer. Ya, pengaruh rasa lelah membuat kami agak bodoh menerjemahkan peta. Btw, hostel ini didapat dari rekomendasi teman Alif dan teman saya dan mereka bilang ada jalan tembus 'ajaib' untuk bolak-balik BTS-penginapan. Untuk langkah pertama, tentunya kami lewat jalan normal. Nah, selesai kami beberes, malam harinya sekitar pukul 8 barulah kami siap jalan-jalan lagi. Mau lewat jalan 'ajaib' ah. 

Berjalan di jalan ajaib sungguh menegangkan buat suami saya. Iya, ini jalan isinya gay bar dan sejenisnya yang menyambung ke Thanon Thaniya yang merupakan red district-nya Patpong. Tapi, demi jalan cepat ya sudahlah ya... lewat saja. Nah, di Thanon Thaniya ini kami beli sim card merek AIS di Sevel setelah sebelumnya nggak beli di bandara. Kenapa? Karena kami cuma 4 hari-an di Thailand dan nggak butuh banyak data sementara di bandara dijual 1,5 gb. Kami memutuskan membeli yang hanya 500 mb dengan harga THB 199 (ya, paling cuma butuh untuk aplikasi maps, sedikit update status, dan yang terpenting bisa mengabari keluarga. Toh, di penginapan ada wifi). 

Malam itu, kami pergi ke Asiatique setelah naik BTS dari Sala Daeng turun di Saphan Taksin dan melanjutkan dengan free boat. Katanya, jam terakhir beroperasinya pukul 23:30. Jadi, yaa... saya dan suami tidak akan lama-lama di sana. Seru yaaa jalan-jalan di Asiatique. Nyaman dan menyenangkan selain bagus untuk foto-foto. Makanan halal juga ada di sana, tapi malam itu belum tergerak untuk makan jadi ya sudah kami menikmati suasana saja dan kembali ke penginapan.

Pemandangan Asiatique dari free boat

Free shuttle boat untuk bolak balik Sathorn Pier (Saphan Taksin) - Asiatique
 
Main-main di dalam Asiatique

Esok harinya kami pergi ke area Grand Palace, tapi lagi-lagi karena nggak fokus, salah belok. Setelah mengikuti petunjuk orang-orang untuk pergi ke Saphan Taksin dan naik kapal berbendera orange atau kuning (supaya bayarnya THB 15 per orang) dan tiba di dermaga N9, kami malah belok kanan. Akhirnya sampe di Wat Pho dulu. Eh tapi alhamdulillah, masih sepi jadi leluasa foto-foto di Wat Pho. Setelah membayar tiket THB 100 (gratis air mineral) kami keliling Wat Pho yang ditutup dengan foto andalan di reclining Budha.

Wat Pho



Lepas dari Wat Pho, kami berjalan memutar ke arah Grand Palace dan mendapati kerumunan padat orang-orang yang membuat kami merasa amat enggan masuk ke dalamnya sehingga memutuskan untuk memoto Wat Phra Kaew dari sisi luar istana saja. Lagipula kalau masuk harus bayar THB 500 (walau ada bonus masuk Dusit Palace juga). Kami lalu lanjut berjalan ke arah dermaga N8 dan memandang Wat Arun di seberang yang sedang DIRENOVASI AJA DONG. Jadi... bye deh ah males juga. Hihihi... padahal mah jadi bisa ngirit THB 3 buat boat + THB 50 buat masuk Wat Arun. Lhaaa... trus jadinya ngapain dong kalo cuma masuk Wat Pho? Tenaanggg.... kita lanjut cari tempat kece. Btw, banyak buah-buah segar di sekitar areal wisata ini, nggak ada salah nya lho cobain beli. Harganya bervariasi antara 30-40an baht, kecuali duren ya. Hihihi...

Wat Phra Kaew dari sisi luar Grand Palace

Wat Arun-nya keliatan lagi direnovasi

Okey, lanjut perjalanan. Setelah balik lagi ke Saphan Taksin, kami naik BTS ke Victory Monument dan lanjut cari bus ke arah Dusit Zoo dari halte besar di depan kawasan Rajavithi Hospital. Katanya bisa naik bus no. 28, 108, 510 atau 515. Kebetulan kami naik bus nomor 28 yang AC dengan ongkos THB 13 per orang. Tiba di halte Dusit Zoo lanjut jalan sekitar hampir 1 km ke gerbang Vimanmek Mansion dan masuk ke situ. Bagus banget tempatnya. Oia, tiket masuk situ THB 100 dan ada tur berbahasa Inggris pukul 11:00 dan 14:00. Berhubung kami sampai tengah hari bolong, jadi istirahat dulu untuk kemudian ikutan tur jam 14:00. Jadi Vimanmek Mansion ini adalah tempat peristirahatan King Rama V. Ada banyak cerita-cerita terutama soal koleksi-koleksi keramik sang raja dan bagaimana raja ini pinter banget sampe sekolah di luar negeri dan menjalin persahabatan dengan negara-negara lain lewat perdagangan (ya pesen-pesen keramik atau barang mahal apalah). Seru masuk mansion ini karena kan lantainya dari kayu jati asli. Adem...



Selesai tur, kami lanjut lagi. Ngapain? Mau nengokin Ananta Samakhom Throne Hall. Ini tempat bagusnya kebangetan kayak lagi di eropa (belom pernah ke sana padahal sih). Tapi, lagi-lagi kami nggak masuk karena kali ini udah kelaperan bangeettt dan capek luar biasa. Jadilah kami cukup berfoto-foto di luar. Next time ke Bangkok, mau ah masuk. Oia, harga tiket masuk ke sini THB 150. Ini museum juga sih sebenernya isinya, tapi kalo baca-baca review orang, baguuusss banget. Sayang sebenarnya harus terlewati.



Nah, karena udah kelaperan, kami balik ke Victory Monument (kali ini dapat bus no. 28 tanpa AC ternyata tarifnya THB 6,5 per orang) dan lanjut naik BTS ke Ratchathewi untuk main-main ke Mall Platinum. Bukan main sih ya, sholat dan makan aja. Daaannn...saya sukaaaa banget sama mall ini karena tempat sholat-nya bersih, bagus, ada lotion-nya juga plus makanan halal di food court-nya harganya terjangkau (sekitar THB 45 untuk semangkok hidangan sejenis bakso). Mushola di mall ini untuk laki-laki ada di lantai 5 dan perempuan di lantai 2 di zona 2 dekat lift dan toilet.



Nah... setelah cukup istirahat, tadinya kami mau ngemil-ngemil cantik di depan Platinum tapi entah gimana akhirnya malah jalan terus keluar mall mengarah berbelok ke Jalan Ratchadamri. Melihat ada supermarket Big C kami belok dan iseng ngecek harga Nestea Thai Milk Tea. Ternyata miriiiinggg harganya. Kalau di tempat lain sebungkus THB 100, di Big C cuma 90, jadilah kami beli 6 bungkus untuk oleh-oleh dan titipan teman. Selepas belanja dan minum kelapa, kami mencari BTS terdekat (ternyata ada BTS Chit Lom) dan kembali ke penginapan. Harus istirahat nih karena besok mau jalan-jalan ke luar kota. Hihihi.. Oh btw, saya kalo beli kelapa kecil di Thailand suka gemes karena itu kan kelapa muda ya, tapi nggak dikerokin sama yang jual padahal saya suka sekali sama degan-nya. Akhirnya kelapa yang sudah habis airnya itu nggak saya buang tapi saya bawa ke penginapan, saya beli air kelapa kemasan di sevel, dan sesampai di kamar di penginapan saya makan daging kelapanya dengan air kelapa kemasan. Hehehe... Saya nggak mau rugi orangnya!

Asik ya, menutup hari dengan manisnya kelapa Thailand ;)

Tuesday, August 25, 2015

SEA Trip 2: Yeay Saigon!

Sore ini, saya rindu dengan suasana kota Ho Chi Minh. Kota yang dulunya bernama Saigon ini punya kesan tersendiri buat saya. Pertama kali menginjak kota ini terbesit kesan meriah. Lampu dan suasana taman kota yang dipenuhi oleh masyarakat setempat dan para wisatawan dengan beragam aktivitas di dalamnya masih tergambar jelas. Sore ini, pikiran saya melayang ke suatu sore di sana. Sebuah taman kota di pinggir Jalan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh, di mana orang-orang sangat menikmati apa yang ada di sekelilingnya.

Sore ini, saya begitu rindu dengan suasana kota Ho Chi Minh, berharap bisa turut berada di sana sambil menikmati suasan menjelang petang.


Kiriman WhatsApp dari suami saya, Alif, yang sore itu sedang berdesakkan di dalam Commuter Line arah Bogor. Rupanya dia sudah rindu Saigon. Saya tertawa saja, karena tidak biasanya dia membuat jejeran kata romantis untuk memuja sesuatu. Ya tapi wajar, kota itu memang memberikan kesan di luar dugaan kami. Setelah sempat mendengar cerita-cerita soal scamming dan semrawutnya lalu lintas di sana, kami memang pasang rambu hati-hati dan waspada begitu kaki kami menginjak Bandara Tan Son Nhat. Tapi apa yang kami temui? Meriah dan ternyata Ramah! Hmmm... mungkin karena terbantu review dan catatan perjalanan para bloggers sehingga kami menemukan celah untuk merasa nyaman di kota terbesar di Vietnam ini.

Itu gambar bawah, kotanya kayak ada lempengan emas. Entah apa sebenarnya


Tiba malam hari di bandara, sudah tidak ada bus kota dan harus naik taksi. Jadi, setelah melewati antrian imigrasi yang alhamdulillah cepat sekali, kami menukarkan uang Dollar ke Dong di dalam bandara (yang menurut review-review di blog adalah rate terbagus) lalu bergegas keluar bandara sambil harap-harap cemas lirik kiri kanan mencari lokasi pemberhentian taksi. Ternyata, keluar sedikit ke kiri sudah banyak taksi berjejer dan mata kami mencari taksi Vinasun atau Mailinh yang katanya paling aman. Yang nampak lebih dahulu oleh mata adalah taksi Vinasun jadi kami langsung masuk ke dalamnya. Sopirnya masih muda dan tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi kami sudah siapkan print lokasi hotel berikut rutenya. 

Ih ngirit banget cuman nuker segitu. Hihihi...

Kami menginap di Kien Hotel, Bui Vien, sebuah area di District 1 yang bersisian dengan jalan Pham Ngu Lao. Dalam perjalanan ke hotel kami melewati Reunification Palace dan Ben Thanh Market sehingga cukup tau ancer-ancer perjalanan esok hari. Lokasi hotel memang cukup strategis, kamar hotelnya juga bersih, pengelolanya jago Bahasa Inggris, helpful dan yang penting harga hotelnya murah. Yaaa... mungkin karena hotel ini masuk di dalam gang. Untuk 2 malam kami kena tarif hanya Rp. 417.000 (pesan via AirAsiaGo) dan karena keberuntungan, kami mendapatkan kamar dengan balkon yang seharusnya dihargai USD 28. 


Sederhana dan murah tapi bagus, bersih, rapih, nyaman. Cocok buat budget traveler ;) 

Esok harinya, sekitar pukul 09:00 kami keluar hotel untuk berkeliling kota. Sebenarnya, ada keinginan untuk bisa pergi ke Mui Ne, tapi kondisi pasca operasi membuat saya enggan bepergian dengan bus dalam jangka waktu yang lama. Akhirnya, disepakati untuk putar-putar kota saja. Keluar dari jalan penginapan, kami melintasi taman kota yang dirindukan suami saya itu. Begitu taman habis, nampaklah Ben Thanh Market dan terminal bus di depannya. 

Taman seberang Pasar Ben Thanh

Tapi, pagi itu kami mencari Nguyen An Ninh atau Malaysian Street dulu, yang ternyata posisinya ada di sisi kiri pasar Ben Thanh. Niatnya brunch dan akhirnya memutuskan makan di Rumah Makan Hj. Basiroh. Suami seperti biasa pesan nasi lemak lah ya, kalau saya, mumpung ke Vietnam kenapa nggak coba Pho saja (yaaa...kalau rasanya kurang cocok, bisa makan nasi lemaknya suami :p). 


Pho Halal, harganya sekitar Rp. 35.000

Ternyataaa..... Pho nya seger... Ini enaknya banget-banget. Masih kebayang bentuk dan rasanya sampe sekarang. Selain mie-nya yang dibuat lembut, toge/kecambah panjang-panjang yang dibuat setengah matang-nya berpadu pas dengan kaldu dan irisan daging sapi empuk plus irisan bakso besar rasa lada hitam. Apalagi ditambah sambal dan perasan jeruk nipis yang dicampur irisan cabe rawit merah kecil. Enaknyaaaa.... Tapi saya kurang suka sama daun selasihnya. Rasanya aneh kayak mentol. Mungkin lidah saya saja yang kurang cocok dengan paduannya. Overall, aku mau balik lagi ke Hj. Basiroh dong :D. Apalagi, ada jajanan enak. Suami beli martabak sementara saya pilih bingka ubi kayu (bingka singkong) buat bekal yang harganya masing-masing VND 25.000 (skitar Rp. 13.000).

Setelah kenyang, mulailah kami jalan kaki berbekal peta dari Mbak pengelola Hotel dan panduan jalan yang sudah dibuat. Pertama, masuk Ben Thanh Market. Mirip Pasar Beringharjo deh. Hehehe... Bedanya, ini isinya souvenir-souvenir gitu. Dan karena niatnya memang cuma masuk jadi ya sudah kami melintas saja dan lanjut berjalan kaki melintasi jalan Le Loi mengikuti arah orang-orang ramai berjalan. Selama berjalan, rasanya seneng banget karena ramai tapi nggak macet. Menengok ke arah seberang kanan, nampak Bitexco Tower dan setelah berjalan lurus terus menengok ke kiri, tiba-tiba melihat bangunan yang familiar waktu googling. "Lha, udah nyampe city hall aja ini kita," kata saya. Kami pun foto-foto dan ngobrol-ngobrol sambil menikmati pemandangan area city hall yang lapang. "Malam pasti bagus nih," kata suami dan akhirnya kami memang kembali lagi di malam harinya dan dibuat terkesan dengan permainan air mancurnya. Simple lho sebenarnya, tapi baguuuusss karena itu di ruang terbuka yang bisa diakses dengan mudah. 

Seru ya seru ya city hall dan air mancurnya

Puas foto-foto kami lanjut lurus berjalan dan melihat Saigon Opera House. Setelah itu, kami mampir ke Lucky Plaza di sisi kanan jalan dengan niat berbelanja souvenir. Waktu itu sempat cek katanya belanja di Lucky Plaza nyaman dan terhindar dari jebakan harga. Tapiiiii, yang kami tidak ketahui adalah Lucky Plaza bagian mana. Maka, kami pun lumayan kena 'tipu' karena malah membeli 5 potong magnet kulkas dan 1 t-shirt di lantai bawah, pakai tawar-menawar. Iyaa.... kami salah. Harusnya, naiklah ke LANTAI 3, cari SWALAYAN dan berbelanjalah dengan HATI BENERAN NYAMAN karena harganya murah dan fixed! Lumayan nyesel belanja di bawah tapi well, emang ada aja yang begitu sih kalo kita jalan-jalan. Hihihi...

Di lantai 3 kami belanja pakai kartu kredit (padahal juga belanjaan nggak sampai Rp. 200 ribu, tapi takut uang Dong-nya habis, karena memang kami cuma menukar USD 50 untuk kebutuhan 2 hari di HCMC). Lumayan, dapat jajanan lucu halal yaitu kripik biji lotus yang katanya berfungsi menstimulasi sistem pencernaan dan cocok untuk diet karena juga bisa menyeimbangkan sistem asupan tubuh. Ya, entahlah, yang jelas saya doyan karena manis kriuk-kriuk kayak kripik jagung. Nah, untuk sebungkus 250 gram, harganya sekitar Rp. 50.000. 

Ini lho Lotus Seed Chips

Habis belanja oleh-oleh, ternyata sudah masuk waktu sholat Dzuhur, maka meluncurlah kami ke Masjid Musulman (Saigon Central Mosque) yang tidak jauh dari Lucky Plaza (tinggal belok kanan kalau sudah ada di Jalan Dong Khoi) dan di seberangnya ada Restoran Halal@Saigon. Tapi kami nggak coba masuk resto-nya karena masih kenyang. Jadilah kami men-jamak sholat, berteduh sebentar, dan beli es krim seharga VND 10.000, menyantapnya dan berkenalan dengan sekelompok anak muda asal Malaysia yang juga sholat di masjid itu. Senengnya traveling ya kayak gitu, dapat kenalan, nambah teman instagram dan bikin kita makin ngerasa berwarna. 

Masjid Musulman dan foto dari IG nya @zainurassyiqin, temen baru

Udah seger, lanjut lagi perjalanan pengen liat sungai kayak apa. Sebenernya kalau sore-sore asik banget jalan-jalan di tepi sungai, tapi karena waktu itu siang lumayan terik, jadi keliatan biasa-biasa aja sungainya. Kami istirahat dan duduk-duduk sebentar trus lanjut mencari Notre Dame Cathedral yang katanya berseberangan dengan Saigon Central Post Office. Matahari sedang kurang bersahabat ketika kami tiba di Cathedral, jadi hasil foto kurang bagus. Kami pun buru-buru masuk ke Kantor Pos supaya teduh. 



Kantor Pos-nya nyenengin banget. Tegel-nya bagus, arsitekturnya juga sederhana tapi megah, trus bisa foto-foto di telephone box. Yang paling penting, bisa belanja souvenir yang mewakili Vietnam dengan harga wajar banget. Ah, love, love, love....



Puas berkeliling, kami pun kembali ke hotel untuk beristirahat karena malamnya pengin balik lagi ke city hall memandangi lampu-lampu-nya dan berbaur dengan warga menikmati air mancurnya. Btw, kami memang tidak pergi ke War Remnants Museum karena saya nggak cukup niat melihat peninggalan perang. Akhir perjalanan kami memang antiklimaks. Ini karena sebenarnya selesai berjalan malam kami ingin mencari banh mi halal di Bui Vien dekat Masjid Nancy atau Masjid Jamiul Islamiyah tapi ternyata lumayan jauuuhhhhh dari penginapan. Jadilah kami belok ke Circle K dan berakhir di kamar menyantap Indomie rendang dan cabe hijau. Hehehe... Yang penting halal.

Esok harinya, kami bersiap-siap ke airport untuk perjalanan selanjutnya setelah sekali lagi berjalan melintasi taman kota dan city hall. Ahhhh... berat meninggalkan HCMC. Berat karena masih banyak yang harus dikunjungi tapi tenaga dan waktu yang belum memungkinkan. Ya, mungkin lain kali. Bahkan saat keluar hotel, saya seperti orang curhat ke Mrs. Feung sang pengelola hotel, mulai bicara nggak jelas bahwa saya bakal balik lagi ke Vietnam, yang pastinya cuma dijawab "thank you, thank you, bye"...

Nah, kali ini kami kembali ke airport tidak dengan taksi karena mau ngirit. Jadilah kami menunggu bus kota di terminal di seberang Ben Thanh Market. Cari saja lorong bus yang ada tulisannya 152 yang arahnya menjauhi jalan Pham Ngu Lao. Cukup keluarkan uang VND 5000 per orang (ih nggak sampe Rp. 3000), duduk manis sekitar 45 menit dan turunlah di airport pemberangkatan internasional. 

Time to say goodbye dan lanjut terbang lagi. Kemana? BANGKOK kakak!... Horeee..... Bye...bye... Vietnam.... Cam o'n Saigon....

Wednesday, August 19, 2015

SEA Trip 1: Hey There Red Square!

Sinar matahari sudah cukup terik pagi itu ketika sopir bus menurunkan kami di kawasan Bangunan Merah. Kami memang kesiangan karena kelamaan mengagumi Masjid Al-Azim, Melaka. Bukan salah masjidnya, tapi tempat itu terlalu khidmat bagi kami untuk menunggu subuh, menjadi jamaahnya, bahkan bisa sekalian menumpang mandi. Gratis dan nyaman.

Iya, penerbangan Air Asia semalam mendaratkan kami di negeri tetangga pada pukul 09:35 dan dengan cita-cita sholat subuh di Masjid Selat Melaka, kami memutuskan membeli tiket bus Transnasional seharga RM 24 per orang dan berangkat pukul 01:30 (dari seharusnya jadwal pukul 01:15). Ternyata, tidak butuh waktu lama untuk tiba di Melaka Sentral. Belum tuntas kantuk kami, sopir sudah menyuruh kami turun dari bus masih dengan kondisi mata yang belum sempurna terbuka. Pantas, baru jam 03:30. 

Melaka Sentral pun masih tidur, hanya ada beberapa taksi dan sebuah tempat makan India dengan lampunya yang terang benderang menyambut kami. Jadi, di sanalah kami berpikir apakah jadi melanjutkan perjalanan ke Masjid Selat Melaka. Sadar bahwa tidak pandai tawar menawar harga, kami urungkan niat naik taksi ke Masjid Selat Melaka dan mendapat info dari sang pengelola tempat makan bahwa ada masjid besar yang cantik tidak jauh letaknya dari situ dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Ternyata jalan kaki yang dimaksud adalah melintas highway dan jarak dekat yang dimaksud adalah lebih dari 2 km. Cukup melelahkan, terlebih selepas mandi kami harus menempuh jalan yang sama untuk pergi ke Melaka Sentral. Bisa dipastikan keringat sudah bercucuran ketika kami masuk ke dalam bus di platform 17 Melaka Sentral (cukup bayar RM 1,5) yang mengantar kami ke kawasan wisata Melaka.

Dari gelap sampai matahari bersinar terang di Masjid Al Azim

Apa rencana pertama? Mencari tiket kembali ke KLIA 2 yang menurut informasi bisa dibeli di Mahkota Medical Centre. Sayangnya, kami tidak mendapatkan informasi kalau counter tiket tidak beroperasi pada hari Minggu. Jadilah dengan langkah gontai kami sepakat untuk nostalgia sebentar perjalanan kami 2 tahun silam, mencari sarapan, dan kembali ke Melaka Sentral untuk mencari cara kembali ke KLIA 2 setelah membaca service routes website-nya bikin kami cemas karena tidak ada jam keberangkatan yang pas.

Jadiiii.... sudah pasti gagal rencana kami main ke Masjid Selat Melaka dan makan siang di Kedai Upin Ipin. Nikmati saja apa yang ada di depan mata. Jalan santai dari Mahkota Medical Centre kembali ke Bangunan Merah, foto-foto sebentar dan langsung pergi ke Jonker Street. Iya, kami mau mencoba Jonker 88 yang terkenal itu.

Kawasan Bangunan Merah dan Melaka River di seberangnya

Mumpung masih rapih, pose di depan Jonker Street

Sangat menyenangkan pergi ke sana di jam-jam brunch. Masih sepi. Sebelumnya sempat khawatir juga apakah kami yang berpacu dengan waktu ini akan bisa menikmati makanan kalau cuma punya waktu sedikit dan masih harus mengantri. Ternyataaaa... bahagiaaa... bisa puas makan di sana. Kalau suami pilih nasi lemak dan rendang ayam, menu yang saya makan adalah Baba Laksa Kahwin Nyonya Asam Laksa. Hahaha.. panjang ya. Untuk minuman pastinya kami pilih cendol. Bagaimana rasanya? Saya dan suami menikmati kombinasi gurihnya nasi lemak dan spicy-nya rendang ayam (yang sebenarnya lebih mirip kari ketimbang rendang kalo di Indonesia) dan rasa asam gurih yang ada di hidangan kami. Irisan ikan tuna di menu Kahwin tadi, itu bagian yang paling saya suka. Sedap!

Menu Jonker 88 pesanan kami yang sungguh lebih enak rasanya dibanding penampilannya. Cukup keluarkan RM 15 per orang dijamin puas!

Selesai makan, kami pun bergegas kembali ke Bangunan Merah untuk mencegat bus kembali ke Melaka Sentral. Suami sudah khawatir bahwa kami harus pergi ke Puduraya atau Terminal Bersepadu Selatan baru ke KLIA 2 kalau ketinggalan bus. Wuihhhh.... menegangkan karena rasanya seperti kejar-kejaran. 

Alhamdulillah, ternyata dari Melaka Sentral, ada bus yang berangkat ke KLIA sekitar pukul 13:00. Tenanglah kami dan bahkan bisa melepas penat di McD Melaka Sentral walau hanya memesan es krim dan pai epal. Irit tapi pas.

Kenapa kami mesti buru-buru dari tadi? Itu karena kami harus berangkat ke HO CHI MINH pukul 19:40 dan kami tidak mau berspekulasi tentang macetnya jalan di akhir pekan. Jadi, lebih baik menunggu di airport, sholat, dan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang.

Wednesday, July 15, 2015

THR--- Tantangan Hari Raya (Post Laparatomy and Appendicitis Surgery): Pengalaman Pelayanan BPJS di Hermina Depok

Halo halooo... akhirnya saya nongol lagi. Kali ini mau sharing soal operasi yang saya jalani tanggal 7 Juli lalu. 

Jadi, sudah sekian tahun ini tubuh saya terindikasi ada kista yang bersarang nempel di ovarium kiri. Dari sebelum nikah pun sudah tau, tapi dokter-dokter kandungan yang saya temui kok ya cenderung santai. Mungkin karena ukurannya 'baru' 3 cm-an. Setelah nikah, ketar-ketir dong ya kok belum juga punya dedek. Hehe... Akhirnya periksa di RS Bunda Depok sama dr. Dian Indah Purnama SpOg, yang melihat bahwa kista saya ini (yang akhirnya membesar jadi 6 cm) baiknya dibuang dulu kalo mau program. Nah gitu kek ya jelas mesti ngapain. Tapi, tapi, tapiiii.... banyak juga yang mesti saya lakukan sebelum bener-bener operasi. Sebenernya mungkin kombinasi males juga yang bikin jadi lama.

Dokter Dian nyuruh saya untuk ke dr. Andi Darma Putra SpOg Onk. Intinya ini dokter cihuy, dokter subspesialis dan saya ketemunya di poli eksekutif Hermina Depok untuk melihat apakah kista saya ini bahaya dalam artian ada ngarah-ngarah ke kanker di kandungan gitu atau nggak. Oh iya sebelumnya saya tes CA 125 dan alhamdulillah hasilnya oke. Trus apa kata dokter Andi? Beliau memeriksa dengan teliti pake alat-alat canggih di ruangannya. Rada takut-takut sih ya ada apa di tubuh saya ini, soalnya semacem "serius amat sih gw sampe masuk ruangan eksekutif segala". Tapi alhamdulillah dugaan dokter Dian dan dokter Andi sama: ini kista jinak, paling isinya cuma semacem ingus aja. Kesimpulan: kista musinosum ovarium kiri (jinak). Alhamdulillah. Tapi lagi-lagi dokter Andi bilang: "buang deh itu kistanya dulu". Tuh kan ah, berarti kan mesti operasi ya.

Balik ke dokter Dian, terucaplah kata aneh itu: "Hmmm ini nggak bisa laparoscopy... mesti laparatomy". Apa itu? Ternyata perutku sayang ini artinya mesti dibelek gede macem orang operasi caesar gitu. Ya sudahlah mari kita urus saja...

Karena pakai BPJS, mulailah saya urus-urus surat di PPK 1 di Puskesmas Depok Jaya. Oh iya, kalo minta rujukan mending datang siang (asal sebelum jam 11) lebih singkat prosesnya karena kalau pagi ruame buanget puskesmas itu. Saya minta ke RS HGA (waktu itu mikirnya ini RS relatif baru dan kayaknya oke ngelayanin BPJS). Tapi apa daya? Aku lelah dengan proses seperti ini:

- datang sebelum jam 7 untuk naro nomor informal (dicatet sama satpam pake pensil)
- datang lagi jam 2 siang ambil nomor beneran di bagian pendaftaran
- baru datang jam 7an buat periksa sama dokter yang nggak sampe 5 menit dengan muka males-malesan sama pasien BPJS dan ngelempar gw gitu aja balik ke Puskesmas dengan penjelasan yang bikin jadi ngomong "gak ke usah ketemu elo juga gw tau" #emosi :D

Ya sudahlah saya males bahas bikin kesel. Akhirnya saya balik lagi ke Puskesmas untuk pindah RS. Trus galau milih RS, dan karena pengalaman di HGA jadi pengen langsung ke RS Fatmawati aja. Kenapa males ke RSUD Depok? Rasanya jauh cyin, trauma pula gara-gara waktu mau tes narkoba buat persyaratan jadi PNS mesti nungu dokter 4 jam lebih rasanya tuuuhhh... ya gitulah... Tapi kata bu dokter puskesmas: "Duh, RS di Jakarta nggak mau lagi langsung terima dari Depok, jadi mbak mesti pilih RS GPI, Hermina, HGA, Bhakti Yudha atau RSUD Depok. Kalau dari mereka nggak bisa baru bisa ke Jakarta, nanti merekanya yang ngerujuk." Oh well.... baiklah. Trus jadi melas sambil nanya, "Dok, RS mana yang ramah sama pasien BPJS, saya sedih kalo kayak dilempar-lempar." Dan akhirnya bu dokter merujuk ke RS Hermina.

Di Hermina-lah perjalanan dimulai. Pertama saya daftar ke bagian BPJS masih di lobby lantai 1 (pas akhir proses selesai tempat pendaftaran sudah pindah di lantai 5), pasrah dong ya dikasih dokter siapa. Nggak bisa milih. Nah, alhamdulillah di RS Hermina Depok ini pelayanan relatif cepat. Saya datang jam 6:30 (karena kan mesti numpuk antrian dulu) trus jam 8 sudah dipanggil untuk naik ke lantai 3 ke poli ibu (bagian kandungan dan kebidanan). Dapet dokter namanya dr Fahmialdi SpOg. Dokter ini ramah banget, aku terharu.... Ya walaupun BPJS ini kan sebenernya hak pegawai ya, tapi dengan kondisi kayak sekarang ini jadi kayak orang mengenaskan gitu, saya jadi sensitif karena bukan anak asuransi. Hehehe... Padahal ya gimana, akuh kan pegawai juga dan bayar juga ya. Di sisi lain pun pahaaaaammmmm banget bahwa para dokter dibayar di bawah biaya biasa. Ya jadi nggak enak, nggak enakan lah ini hati.

Tapi.. dokter Fahmi ini ramah, telaten, ditanyain satu per satu sampe ditanyakan "Apa sudah sepakat operasi dengan suami". Detil lah pokoknya. Di akhir sesi saya disuruh konsul ke dr. Denny Dhanardono SpOg (yang ternyata adalah dokter subspesialis infertilitas). Kenapa saya mesti konsul ke beliau? Ini karena dokter Fahmi concern banget supaya saya cepet hamil jadi diagnosanya mengarah ke: cek deh ini kista ganggu nggak kalau mau program hamil. Jadiiii..... akhirnya yang ditulis dokter Fahmi di lembar konsul adalah: 1. infertilitas 1 tahun 7 bulan (interpretasi saya dari kalimat ini: kondisi belum hamil setelah menikah 1 tahun 7 bulan. Tapi interpretasi RS adalah: LO MAU PROGRAM HAMIL YA KOK PAKE BPJS???) 2. kista ovarium kiri. 

Tips pasien BPJS: perhatiin hasil diagnosa dokter jangan sampe terjadi salah paham yaaa...

Buat kasus saya, mungkin soal infertilitas bisa ditulis di notes aja jangan didiagnosa. Saya nggak nyalahin pak dokter baik yang udah bantu saya, tapi kadang, begitulah salah paham bisa terjadi. Sebenernya mah niat hati ini dari awal kan cuma mau 'buang kista' ya, kalau program hamil mah sadar diri juga saya bakalan bayar sendiri. Terbukti saya juga ikutin saran sampe ke dokter Andi Darma yang cost-nya itu sampe 1,8 juta buat sekali periksa. Tapi ya namanya juga ikhtiar kan ya. 

Ok lanjutannya gini, akhirnya saya daftar lagi antri di lantai 5 untuk kejar jadwal dokter Denny. Mulailah terjadi drama-drama itu seperti: "Bu, ini nggak bisa dicover BPJS". Saya ngeyel dong karena kata dokter dan perawat tempo hari, diagnosa utamanya soal kista. But, what's written is more important than what was said. Akhirnya saya dapet notes untuk "ya udah silahkan bu ke poli ibu".Ternyata pas saya ke poli ibu dibahas lagi itu poin infertilitas. Lama-lama harga diri saya kok ya terluka, bukan apa... mungkin para perawat hanya menjalankan tugasnya, tapi saya kan juga hanya menyampaikan tugas saya. Intinya, saya mengalah dari argumen karena memang sudah beda stand point-nya. Saya bayar pribadi untuk konsul ke pak dokter subspesialis ini.

Seperti umumnya dokter-dokter di Hermina ya, dokter Denny juga ramah, malah sering bercanda jadi suasana santai. Tapi buat saya yang terpenting adalah: apa nih diagnosanya? Dan seperti yang sudah saya duga, senada dengan dokter Dian dan dokter Andi: ini kista nggak ada hubungannya dengan program hamil, tapiiii... kalau mau program enaknya dibuang dulu karena kalau jadi besar nanti akan mengganggu organ reproduksi saya. See.... mbak perawat, ini nggak ada hubungannya sama program. Ah ya sudahlah, tapi sudah begitu saja. Dokter Denny 'mengembalikan' saya ke dokter Fahmi dengan hasil diagnosa tadi. Esok harinya, saya datang lagi mengejar jadwal dokter Fahmi di antrian BPJS sejak jam 6 pagi cuma untuk mengetahui bahwa: saya sudah putus rujukan BPJS karena kemarin sudah bayar pribadi dan diagnosa 'infertilitas' sudah terinput yang menyebabkan tidak ter-covernya tindakan. Dalam hati sih nanya: "emang gak bisa ya itu dicoret aja?" 

Akhirnyaaaa.... saya mesti balik ke puskesmas untuk bikin rujukan lagi buat ketemu dokter Fahmi. Capek? Banget... bosen juga, tapi udah nanggung ini, masa berhenti sih? Hehe... Saya kejarlah dokter Fahmi di tanggal 30 Juni. Untuuuunggg perawat yang jaga beda, ya kalo sama nggak apa-apa juga sih, tapi aku lelah dipandang salah paham gitu. Hihihi... 

Saya diperiksa lagi sama dokter Fahmi dan akhirnya: "seminggu cukup nggak ya persiapan?" yang dijawab oleh perawatnya "cukup, bisa kok dok". Jadilah.... akhirnyaaaa... saya denger juga itu kalimat: tindakan laparatomy untuk ambil kista dijadwalkan tanggal 7 Juli jam 10 ya bu. Singkat, padat, jelas.... Itu yang saya butuh setelah berbulan-bulan galau. Hehe...

Dari situ, masih rada panjang perjalanan, karena saya mesti cek apakah tindakan saya ini dicover BPJS atau tidak. Kalau tidak, suami sudah bilang, yuk pake asuransi dari kantor dia saja daripada berlarut-larut masalahnya. Eh tapi alhamdulillah rejeki bulan ramadhan, ternyata tindakan ini bisa dicover dengan notes dari orang administrasi "sebenarnya ini tergolong operasi besar bu, tapi kita taro di sedang ya". Iya, whatever, saya cuma pengen yang benernya aja gimana. Nah, dari situ banyak jadwal yang mesti saya lakukan (satu hari satu jadwal)

- 30 Juni: konsul dokter Fahmi (pernyataan mesti laparatomy tanggal 7 Juli)
- 1 Juli: cek lab (darah)--pagi dan bawa hasilnya ke dokter penyakit dalam--sore
- 2 Juli: ketemu dokter anestesi
- 3 Juli: cek lab ada yang ketinggalan katanya untuk jantung dan konsul dokter Fahmi lagi

karena tanggal 3 Juli dokter Fahmi sedang ada tindakan di RS Hermina Ciputat, jadi setelah datang buru-buru dari jam 6, dipanggil jam 8:30 dan dapat hasil lab jam 10:30 barulah saya bisa pulang. Akhirnya bisa menyiapkan diri beneran di rumah.

The Day
Saya dan suami mulai bermalam di RS Hermina Depok tanggal 6 malam selesai tarawih di kelas 2 (iya, kelas 1 nya penuh, biarin yang penting cepet kelar :(.....). Disuruh puasa makan dari jam 2 dan puasa minum dari jam 7. Trus persiapannya apa aja semalaman itu? Saya pikir mah istirahat aja. Ternyata ada macem:

- cek tensi rutin
- jam 1:58 ada perawat datang masukin obat pencahar lewat anus sebanyak 2 botol yang katanya reaksinya cepat sekitar 10 menit (gw mah boro-boro begitu kelar dimasukin langsung lari ke WC *anaknya sensitif dimana-mana :D)
- mungkin jam 4-an perawat ngecek daerah yang akan dibedah, dan dibersihkan
- jam 7an masukin obat pencahar lagi 1 botol. Udah pasti kosong lah itu perut saya ya
- jangan lupa mandi sepuas-puasnya karena pasca operasi cuma bisa dilap-lap aja itu badan
- jam 8:45... jam yang paling saya benci karena mesti suntik skin test. Ini dulu udah pernah suntik waktu kena DBD bareng tipes, eh disuntik lagi, padahal saya udah dengan koar-koar bilang saya nggak ada alergi. Tapi ini prosedur lah ya daripada kenapa-kenapa. And as I guess, masih sakit luar biasa ini suntikan, bukan kayak digigit semut, tapi kayak itu semutnya nyiksa di dalam kulit kita -__-

Jam 9 meluncurlah saya ke ruang tunggu operasi. Ganti baju, pasang infus, ngobrol haha-hihi sama suami, ibu, dan bapak saya hingga akhirnya saya dijemput tempat tidur berjalan itulah apa namanya. Perawat-perawat berbaju hijau mulai siap-siap. Since mata saya minus 4,5 alhamdulillah ajalah ya nggak jelas ngeliat kemana-kemana. Means, gw gak bakal ngeliat darah. Yeay....

Entah jam berapa, dokter Fahmi datang sudah lengkap dengan pakaian operasi. "Nggak cemas kan?" Duh dok.... manalah bisa saya nggak cemas, tapi tetep jawab "biasa aja dok". Hahahaha... anaknya gengsian abis. Dokter Fahmi bilang mau skalian ngetes saluran tuba saya pakai cairan sehingga saat program hamil nanti nggak usah tes HSG. Oh baiklah....

Lalu, masuklah saya ke ruang tindakan. Untung semua orang santai, baik perawat maupun dokter-dokter. Iyaaa.... ada dokter anestesi mungkin sama dokter penyakit dalam juga di situ. Blur euy mata eike. Kenalanlah saya sama dr. Widjanarko SpAn. yang ikut meracau kayak saya di ruang operasi. Jadi, untuk operasi ini saya akan dibius setengah tapi dibikin tidur juga. Namanya anestesi spinal yang menyuntikkan bius di tulang belakang. Sebelum saya tanya, dokter Widjanarko sudah bilang bahwa rasanya hanya seperti ambil darah disuntiknya. Oh baeklah.... nggak ada apa-apa dibanding skin test tadi. 

Saya pun didudukkan dengan posisi bungkuk, yang kata dokter Fahmi dan dokter Wid, posisi saya sudah canggih. Kemudian, seperti tusukan jarum akupuntur, kaki saya mulai kesemutan, mati rasa dan saya pun tumbang.... Bangun-bangun ternyata kedinginan dan proses operasi sudah selesai tinggal menyatukan kulit perut (duh bahasa gw). Nggak ada mimpi lho, kirain mah kalau dibius kayak ada mimpi-mimpi apa gitu. Ketika bangun dokter Fahmi langsung bilang: "Bu, kistanya, sudah diambil ya, saluran tuba juga sudah dites bagus. Trus, ternyata ada usus buntu kronis, tadi sudah konsul dengan dokter Hendrik spesialis penyakit dalam dan dengan persetujuan suami ibu sudah kami angkat, boleh ya bu?" Ehhh... apanya yang "boleh ya bu?" kalo udah kelar. Hehehehehehe.... Ya intinya saya mah pasrah aja ya, karena kuasa pisau bedah hanyalah milik dokter semata saat itu. Alhamdulillah pun sudah selesai tinggal menunggu hasil lab jenis kista dan usus buntunya.

Pasca Operasi
Gimana rasanya? Akuuuu kedinginan buanget... jadilah dikasih selimut 3 lapis dan langsung ketemu sama suami dan ortu tercinta yang kata mereka "lama bangetttt di dalam". Ternyata operasi makan waktu 2 jam. Infus dan kateter juga udah terpasang di badan saya, nggak tau kapan itu dipasang. Ah, saya pun laper selesai operasi dan boleh aja gitu langsung minum teh sama makan 4 potong biskuit. Tapiii, belum boleh gerak-gerak dulu, baru boleh duduk dan latihan jalan setelah 24 jam. Sekitar 2 jam pasca operasi saya mulai bisa merasakan kaki dan dipindah ke kamar. Rasanya, kaki aku kayak jelly, rapuh banget, dan karena nggak boleh duduk akhirnya pindah-pindahnya ngesot terlentang. Meski nggak boleh duduk, tapi perawat nyuruh untuk coba hadap kanan kiri biar nggak kaku perutnya. Dan bergerak pun ternyata memperlancar keluarnya angin lho.

Gimana rasanya setelahnya? Alhamdulillah nggak muntah, nggak mual, cuma pengen buru-buru keluar dari RS. Hehehe... Pokoknya intinya mah, ikutin aja apa kata orang RS, insya Allah cepet pulihnya ya. Walau ada juga lah ya fase-fase malesin macem masukin antibiotik lewat anus (again). Hiks... Ya kan mesti gitu ya.

Trus 24 jam setelahnya... antara bahagia sama tersiksa. Yuk, latihan jalan, ini artinya, infus dicabut, kateter dilepas. Cabut infus sih biasaaaa.... Lepas kateter, Ya Allah Gusti.... sakitnya nggak saya duga, hehehe... Tapi ya sudah alhamdulillah mulai bisa pelan-pelan gerak. Sore hari, dokter penyakit dalam visit dan menjelaskan tindakannya. Katanya, usus buntu saya ini masih KRONIS belum AKUT (oh those two terms mean different ya?). Kata dokter Hendrik, mungkin 4 bulanan lagi kalo nggak diambil baru terasa sakitnya. Dalam hati, alhamdulillah kalo begitu daripada perutku dua kali dibelek. 

Lepas maghrib, dokter Fahmi yang visit untuk cek kondisi dan ganti perban tahan air. Besok sudah boleh mandi biasa katanya dan sudah boleh keluar RS. Alhamdulillaaaahhh... Saya juga sudah boleh makan apapun dan dikasih jadwal kontrol tanggal 14 Juli. Jadilah, keesokan harinya saya pulang ke rumah...

Perawatan di rumah, ya sebenernya santai aja sih. Cuma saya masih belum berani sholat normal, masih dalam posisi duduk. Mandi juga pelan-pelan. Saya pun sudah coba puasa mulai H+3 operasi, alhamdulillah so far bisa kuat. Yang bikin eneg itu sebenernya kombinasi 2 obat antibiotik, 1 obat nyeri, plus penambah darah. Nggak tau bahannya apaan, yang jelas, nafas, keringet, BAK, BAB, berbau obaaattt semua. Itu yang bikin mual, walau angin di dalam tubuh kayaknya buanyak banget mesti keluarnya. Alhamdulillah saya juga lancar BAB. Ini serius sih, kalo nggak bisa BAB diresepin dulcolax yang mesti masuk lewat anus. No...no...no.... setres gueeee kalo itu mesti masuk lagi. Jadilah suplai aja buah-buahan dan jus buah di rumah untuk mempercepat proses penyembuhan.

Tepat seminggu setelah operasi, tanggal 14 Juli, saya kontrol ke dokter Fahmi. Udah bisa mbonceng motor dong. Alhamdulillah, hehe... saya semangat mudik soalnya... Dari hasil kontrol alhamdulillah semua membaik dan saya boleh mudik, boleh beraktivitas biasa juga. 

Trus pas kontrol ngapain? Itu, lem-nya dibuka trus ganti perban lagi karena luka di sisi kiri masih kurang kering, tapi sekitar 3 hari sudah boleh lepas perban. Saya USG abdomen juga dan diperlihatkan sudah oke rahimnya dan bebas kista. Alhamdulillaahhhh.... 

Soal biaya gimana? Alhamdulillah semua ditanggung BPJS, kecuali perban anti air dan beberapa obat yang totalnya tidak sampai Rp. 150.000,- :)


Sekilas soal Pak Dokter
Di akhir kontrol, saya sempat melihat jaket yang dipakai Pak Dokter ternyata ikut ikatan dokter Serang atau apalah, dan ternyata dokter Fahmi ini kenal sama Om saya yang dokter bedah di RSUD Serang. Dari Om saya, taulah saya kalau dokter Fahmi ini pernah menjadi dokter teladan Sumut. Dan saya pun merasa bersyukur. Alhamdulillah baik banget ini orang sama saya, concern banget sama ikhtiar saya dan suami. 

Ya, begitulah cerita panjang proses operasi saya pakai BPJS di RS Hermina Depok. Insya Allah ya sehat terus... mudik dan liburan juga semoga lancar semuanya :). Alhamdulillah pun punya suami tercinta yang baiiiiikk buanget mau urus ina itu, plus ibuku yang tiada lagi kuragukan cintanya padaku, plus Bapak dan adik-adik serta teman-teman. 


Ya inilah cerita Ramadhanku....