Friday, August 28, 2015

Yang Kamu Nggak Tau

Biasanya saya semangat bicara soal traveling, tapi pagi ini enggak. Ini karena percakapan via telpon dengan ibu saya yang memang berbeda sudut pandang soal traveling. Saya kesal karena ibu tiba-tiba bilang: "Itu saudara kalo ada uang mikirinnya gimana nyantunin anak yatim piatu, lha kamu yang kepikiran jalan-jalan terus. Malu ibu." Terlebih sampai akhir weekend, adik saya pun sedang ada gathering yang isinya jalan-jalan di Malaysia dan Singapura. Jadilah ini dibahas juga. Mau membela diri tapi kalau yang namanya sudah beda stand point kan sulit.

Mungkin salah saya adalah UPLOAD FOTO DI FACEBOOK sehingga orang tua, sepupu, keluarga, dan teman-teman melihat kalau saya pulang bepergian. Dan saya nggak berpikiran kalau 'eh, nggak semua orang bahagia ketika kita bahagia lho'. Ah ya sudahlah, niat kita dan bagaimana orang berpersepsi kan bisa beda. Yang nampak di foto kan gambaran kebahagiaan, senyum ceria dengan latar tempat yang bagus-bagus dan bayangan menghabiskan uang banyak untuk tiket pesawat, hotel, makan, oleh-oleh, dan bermain-main yang semuanya nampak bak memuja kehidupan duniawi. Maka, perkataan 'menghambur-hamburkan uang saja' pun, bukan tidak mungkin menjadi kesimpulan.

Saya protes. Di sini saja. Seharusnya orang-orang sebelum berkomentar mengetahui lebih dahulu apa yang ada di belakangnya. Ah, tapi buang waktu lah ya. What you see is what you get. What's behind isn't important. Gitu kali ya.

Well, saya mulai senang traveling ketika berumur 25 tahun, yang kalau saya pikir sekarang sepertinya telat. Waktu itu saya sering pergi berdua bersama sahabat saya Shima. Destinasi pertama adalah Lombok dan Bali yang di tahun berikutnya mulai mencoba jalan ke negeri-negeri tetangga. Sampai sekarang pun masih begitu. Tipe traveling saya pun tidak berubah. Saya traveling sebisanya, sengumpulnya uang aja dan semuanya dilakukan dalam kondisi 'terjangkau', baik biaya, waktu, dan lokasi. Sumpah, nggak berboros-boros. Kenapa kadang keluar negeri? Semata karena tiketnya lebih murah. Mampunya begitu. (Jadi, tolong wahai traveler pecinta bumi Indonesia, jangan hakimi saya juga ya. Perjuangan orang beda-beda).

Kenapa saya traveling? Di umur 25 tahun itu, hidup saya bagai terkungkung. Saya punya bos yang bikin hati saya kerdil. Dan memang ada kok orang-orang yang hadir di dunia ini untuk menyiksa psikologis orang lain. Dan, saya adalah korban, sehingga di umur itu pun saya memutuskan pindah pekerjaan. Masa-masa menunggu pekerjaan baru, saya memulihkan jiwa saya dengan berlibur. Itu tadi, ke Lombok dan Bali. Sensasi bertemu orang baru, berjuang mencari jalan, berjuang bertahan hidup, hingga perasaan merindu rumah dan Kasih Sayang-Nya di perjalanan menjadi hal yang membuat ketagihan. Hingga saya pun bersedia menabung untuk traveling.

Kalau orang lain senang berganti ponsel atau belanja, saya memilih menabungnya untuk traveling. Ketika orang lain bisa bersenang-senang, saya menabung. Saya menyisihkan uang untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Menabung untuk masa depan pun saya lakukan juga. Itulah kenapa saya seringnya traveling murah. Bikin itinerary sendiri, nekat bawa uang sedikit, karena yang terpenting adalah pengalaman, bukan seberapa mewah kita berlibur. Level saya baru segitu. Impiannya tentunya: SEIMBANG: hidup nyaman, traveling enak dan lebih jauh, dan bisa berbagi serta beramal maksimal.

Orang lain tentu tidak peduli bagaimana saya menabung, bagaimana saya menghadapi apa yang suami saya bilang 'mencoba menjadi minoritas'. Orang mungkin akan berpikir: kurang kerjaan, nyari-nyari susah sendiri. Tapi yaaa.... memang beda dari sisi mana suatu hal itu dipandang.

Traveling adalah ujian prinsipil menjadi hamba Tuhanmu. Bagaimana bisa menjalankan sholat 5 waktu di lokasi yang mungkin tidak umum mengenal sholat hingga ketika nampak masjid di depan mata, rasa bahagianya bisa sampai di puncak. Iya, sholat di masjid-masjid yang berbeda itu menyenangkan dan mewarnai hidup. Kemudian, bagaimana mendapatkan makanan halal hingga terpaksa menahan lapar sampai benar-benar apa yang dikatakan Allah sebagai halal dan thayib bisa disantap. 

Traveling bisa membuat diri kita tertunduk dan mengakui kebesaran Allah. Melihat ciptaannya dan menyadari bahwa diri ini sesungguhnya hanyalah makhluk yang kecil di antara megahnya bumi Allah. Dan perjumpaan tak terduga dengan saudara-saudari sesama Muslim (bahkan berkenalan dengan Imam Masjid) menguatkan keimanan. Pun ketika bertemu dengan orang-orang dari beragam bangsa, budaya dan agama, semuanya memperkaya perjalanan hidup. Bahkan ketika kesulitan datang, bisa membuat diri ini bersyukur mengingat ada tanah air dan rumah untuk kembali sebagai tempat yang dimudahkan Allah untuk memuji-Nya.

Udah, mau bilang itu aja, kalo traveling cukup bisa bikin saya menahan emosi hanya dengan menulisnya, tanpa berteriak-teriak menyampaikan perasaan saya. Traveling justru harusnya menjadikan seseorang tidak sombong tetap merunduk karena memahami hakikat sebuah perjalanan.






No comments: