Friday, August 28, 2015

Yang Kamu Nggak Tau

Biasanya saya semangat bicara soal traveling, tapi pagi ini enggak. Ini karena percakapan via telpon dengan ibu saya yang memang berbeda sudut pandang soal traveling. Saya kesal karena ibu tiba-tiba bilang: "Itu saudara kalo ada uang mikirinnya gimana nyantunin anak yatim piatu, lha kamu yang kepikiran jalan-jalan terus. Malu ibu." Terlebih sampai akhir weekend, adik saya pun sedang ada gathering yang isinya jalan-jalan di Malaysia dan Singapura. Jadilah ini dibahas juga. Mau membela diri tapi kalau yang namanya sudah beda stand point kan sulit.

Mungkin salah saya adalah UPLOAD FOTO DI FACEBOOK sehingga orang tua, sepupu, keluarga, dan teman-teman melihat kalau saya pulang bepergian. Dan saya nggak berpikiran kalau 'eh, nggak semua orang bahagia ketika kita bahagia lho'. Ah ya sudahlah, niat kita dan bagaimana orang berpersepsi kan bisa beda. Yang nampak di foto kan gambaran kebahagiaan, senyum ceria dengan latar tempat yang bagus-bagus dan bayangan menghabiskan uang banyak untuk tiket pesawat, hotel, makan, oleh-oleh, dan bermain-main yang semuanya nampak bak memuja kehidupan duniawi. Maka, perkataan 'menghambur-hamburkan uang saja' pun, bukan tidak mungkin menjadi kesimpulan.

Saya protes. Di sini saja. Seharusnya orang-orang sebelum berkomentar mengetahui lebih dahulu apa yang ada di belakangnya. Ah, tapi buang waktu lah ya. What you see is what you get. What's behind isn't important. Gitu kali ya.

Well, saya mulai senang traveling ketika berumur 25 tahun, yang kalau saya pikir sekarang sepertinya telat. Waktu itu saya sering pergi berdua bersama sahabat saya Shima. Destinasi pertama adalah Lombok dan Bali yang di tahun berikutnya mulai mencoba jalan ke negeri-negeri tetangga. Sampai sekarang pun masih begitu. Tipe traveling saya pun tidak berubah. Saya traveling sebisanya, sengumpulnya uang aja dan semuanya dilakukan dalam kondisi 'terjangkau', baik biaya, waktu, dan lokasi. Sumpah, nggak berboros-boros. Kenapa kadang keluar negeri? Semata karena tiketnya lebih murah. Mampunya begitu. (Jadi, tolong wahai traveler pecinta bumi Indonesia, jangan hakimi saya juga ya. Perjuangan orang beda-beda).

Kenapa saya traveling? Di umur 25 tahun itu, hidup saya bagai terkungkung. Saya punya bos yang bikin hati saya kerdil. Dan memang ada kok orang-orang yang hadir di dunia ini untuk menyiksa psikologis orang lain. Dan, saya adalah korban, sehingga di umur itu pun saya memutuskan pindah pekerjaan. Masa-masa menunggu pekerjaan baru, saya memulihkan jiwa saya dengan berlibur. Itu tadi, ke Lombok dan Bali. Sensasi bertemu orang baru, berjuang mencari jalan, berjuang bertahan hidup, hingga perasaan merindu rumah dan Kasih Sayang-Nya di perjalanan menjadi hal yang membuat ketagihan. Hingga saya pun bersedia menabung untuk traveling.

Kalau orang lain senang berganti ponsel atau belanja, saya memilih menabungnya untuk traveling. Ketika orang lain bisa bersenang-senang, saya menabung. Saya menyisihkan uang untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Menabung untuk masa depan pun saya lakukan juga. Itulah kenapa saya seringnya traveling murah. Bikin itinerary sendiri, nekat bawa uang sedikit, karena yang terpenting adalah pengalaman, bukan seberapa mewah kita berlibur. Level saya baru segitu. Impiannya tentunya: SEIMBANG: hidup nyaman, traveling enak dan lebih jauh, dan bisa berbagi serta beramal maksimal.

Orang lain tentu tidak peduli bagaimana saya menabung, bagaimana saya menghadapi apa yang suami saya bilang 'mencoba menjadi minoritas'. Orang mungkin akan berpikir: kurang kerjaan, nyari-nyari susah sendiri. Tapi yaaa.... memang beda dari sisi mana suatu hal itu dipandang.

Traveling adalah ujian prinsipil menjadi hamba Tuhanmu. Bagaimana bisa menjalankan sholat 5 waktu di lokasi yang mungkin tidak umum mengenal sholat hingga ketika nampak masjid di depan mata, rasa bahagianya bisa sampai di puncak. Iya, sholat di masjid-masjid yang berbeda itu menyenangkan dan mewarnai hidup. Kemudian, bagaimana mendapatkan makanan halal hingga terpaksa menahan lapar sampai benar-benar apa yang dikatakan Allah sebagai halal dan thayib bisa disantap. 

Traveling bisa membuat diri kita tertunduk dan mengakui kebesaran Allah. Melihat ciptaannya dan menyadari bahwa diri ini sesungguhnya hanyalah makhluk yang kecil di antara megahnya bumi Allah. Dan perjumpaan tak terduga dengan saudara-saudari sesama Muslim (bahkan berkenalan dengan Imam Masjid) menguatkan keimanan. Pun ketika bertemu dengan orang-orang dari beragam bangsa, budaya dan agama, semuanya memperkaya perjalanan hidup. Bahkan ketika kesulitan datang, bisa membuat diri ini bersyukur mengingat ada tanah air dan rumah untuk kembali sebagai tempat yang dimudahkan Allah untuk memuji-Nya.

Udah, mau bilang itu aja, kalo traveling cukup bisa bikin saya menahan emosi hanya dengan menulisnya, tanpa berteriak-teriak menyampaikan perasaan saya. Traveling justru harusnya menjadikan seseorang tidak sombong tetap merunduk karena memahami hakikat sebuah perjalanan.






Wednesday, August 26, 2015

SEA Trip 3: Finally Bangkok!

By the way, hari ini umur saya 30 tahun dan pagi tadi sudah sarapan pake red velvet cake hadiah dari suami plus secangkir milk tea, jadi sekarang masih kenyang... Ih makasih ya suami baik hati yang ngerti banget istrinya suka drama romantis dan selalu pengen dikejutkan. *siap-siap nonton Cinta di Musim Cherry* hehehehe....

Kece ya kece ya ;)

Yak, tapi saya bukan mau cerita itu. Saya mau cerita lanjutan perjalanan saya dan suami waktu liburan kemarin. Akhirnya ke Bangkok juga setelah 2 kali ke Thailand malah pergi ke Hatyai sama Krabi. Nah, setelah drama Melaka yang diredakan dengan santai-santai di Saigon, grafik emosi naik lagi pas nyampe Bangkok dong. Kenapa? Ya, namanya pun ibukota ya... jalanan ramai, orang-orangnya ngebut, dan pasang muka sibuk. Kami yang tiba di bandara Don Mueang sore hari dan naik bus A1 menuju BTS Mo Chit untuk lanjut ke BTS Sala Daeng dan jalan menuju Thrive The Hostel di daerah Patpong, jadi merasa seperti orang yang baru pulang kerja dan rebutan naik bus. Iya, kami berdiri di dalam bus yang ongkosnya cuma THB 30 dan bersisian dengan para pelancong yang membawa koper dengan wajah sungguh-sungguh sibuk. Mungkin hawa kotanya membuat kami semua seperti diburu-buru.

Kami juga sih yang memang memutuskan mau irit sehingga jika bepergian memang selalu menggunakan transportasi massal. Bikin itinerary komplit pake estimasi ongkos BTS dengan berpanduan dari website http://www.bts.co.th/customer/en/02-route-current_new.aspx jadi bisa memperkirakan biaya yang akan keluar. Nah, untuk liburan di Bangkok ini kami menghabiskan waktu 2 hari ditambah 2 hari lagi melipir ke arah pantai di Barat Daya Bangkok yaitu ke Cha Am dan Hua Hin.

Tiba di BTS Sala Daeng, kami agak kesulitan mencari lokasi Thrive The Hostel. Agak lama menemukan dan rasanya jauh. Padahal teman-teman sudah memberikan ancer-ancer. Ya, pengaruh rasa lelah membuat kami agak bodoh menerjemahkan peta. Btw, hostel ini didapat dari rekomendasi teman Alif dan teman saya dan mereka bilang ada jalan tembus 'ajaib' untuk bolak-balik BTS-penginapan. Untuk langkah pertama, tentunya kami lewat jalan normal. Nah, selesai kami beberes, malam harinya sekitar pukul 8 barulah kami siap jalan-jalan lagi. Mau lewat jalan 'ajaib' ah. 

Berjalan di jalan ajaib sungguh menegangkan buat suami saya. Iya, ini jalan isinya gay bar dan sejenisnya yang menyambung ke Thanon Thaniya yang merupakan red district-nya Patpong. Tapi, demi jalan cepat ya sudahlah ya... lewat saja. Nah, di Thanon Thaniya ini kami beli sim card merek AIS di Sevel setelah sebelumnya nggak beli di bandara. Kenapa? Karena kami cuma 4 hari-an di Thailand dan nggak butuh banyak data sementara di bandara dijual 1,5 gb. Kami memutuskan membeli yang hanya 500 mb dengan harga THB 199 (ya, paling cuma butuh untuk aplikasi maps, sedikit update status, dan yang terpenting bisa mengabari keluarga. Toh, di penginapan ada wifi). 

Malam itu, kami pergi ke Asiatique setelah naik BTS dari Sala Daeng turun di Saphan Taksin dan melanjutkan dengan free boat. Katanya, jam terakhir beroperasinya pukul 23:30. Jadi, yaa... saya dan suami tidak akan lama-lama di sana. Seru yaaa jalan-jalan di Asiatique. Nyaman dan menyenangkan selain bagus untuk foto-foto. Makanan halal juga ada di sana, tapi malam itu belum tergerak untuk makan jadi ya sudah kami menikmati suasana saja dan kembali ke penginapan.

Pemandangan Asiatique dari free boat

Free shuttle boat untuk bolak balik Sathorn Pier (Saphan Taksin) - Asiatique
 
Main-main di dalam Asiatique

Esok harinya kami pergi ke area Grand Palace, tapi lagi-lagi karena nggak fokus, salah belok. Setelah mengikuti petunjuk orang-orang untuk pergi ke Saphan Taksin dan naik kapal berbendera orange atau kuning (supaya bayarnya THB 15 per orang) dan tiba di dermaga N9, kami malah belok kanan. Akhirnya sampe di Wat Pho dulu. Eh tapi alhamdulillah, masih sepi jadi leluasa foto-foto di Wat Pho. Setelah membayar tiket THB 100 (gratis air mineral) kami keliling Wat Pho yang ditutup dengan foto andalan di reclining Budha.

Wat Pho



Lepas dari Wat Pho, kami berjalan memutar ke arah Grand Palace dan mendapati kerumunan padat orang-orang yang membuat kami merasa amat enggan masuk ke dalamnya sehingga memutuskan untuk memoto Wat Phra Kaew dari sisi luar istana saja. Lagipula kalau masuk harus bayar THB 500 (walau ada bonus masuk Dusit Palace juga). Kami lalu lanjut berjalan ke arah dermaga N8 dan memandang Wat Arun di seberang yang sedang DIRENOVASI AJA DONG. Jadi... bye deh ah males juga. Hihihi... padahal mah jadi bisa ngirit THB 3 buat boat + THB 50 buat masuk Wat Arun. Lhaaa... trus jadinya ngapain dong kalo cuma masuk Wat Pho? Tenaanggg.... kita lanjut cari tempat kece. Btw, banyak buah-buah segar di sekitar areal wisata ini, nggak ada salah nya lho cobain beli. Harganya bervariasi antara 30-40an baht, kecuali duren ya. Hihihi...

Wat Phra Kaew dari sisi luar Grand Palace

Wat Arun-nya keliatan lagi direnovasi

Okey, lanjut perjalanan. Setelah balik lagi ke Saphan Taksin, kami naik BTS ke Victory Monument dan lanjut cari bus ke arah Dusit Zoo dari halte besar di depan kawasan Rajavithi Hospital. Katanya bisa naik bus no. 28, 108, 510 atau 515. Kebetulan kami naik bus nomor 28 yang AC dengan ongkos THB 13 per orang. Tiba di halte Dusit Zoo lanjut jalan sekitar hampir 1 km ke gerbang Vimanmek Mansion dan masuk ke situ. Bagus banget tempatnya. Oia, tiket masuk situ THB 100 dan ada tur berbahasa Inggris pukul 11:00 dan 14:00. Berhubung kami sampai tengah hari bolong, jadi istirahat dulu untuk kemudian ikutan tur jam 14:00. Jadi Vimanmek Mansion ini adalah tempat peristirahatan King Rama V. Ada banyak cerita-cerita terutama soal koleksi-koleksi keramik sang raja dan bagaimana raja ini pinter banget sampe sekolah di luar negeri dan menjalin persahabatan dengan negara-negara lain lewat perdagangan (ya pesen-pesen keramik atau barang mahal apalah). Seru masuk mansion ini karena kan lantainya dari kayu jati asli. Adem...



Selesai tur, kami lanjut lagi. Ngapain? Mau nengokin Ananta Samakhom Throne Hall. Ini tempat bagusnya kebangetan kayak lagi di eropa (belom pernah ke sana padahal sih). Tapi, lagi-lagi kami nggak masuk karena kali ini udah kelaperan bangeettt dan capek luar biasa. Jadilah kami cukup berfoto-foto di luar. Next time ke Bangkok, mau ah masuk. Oia, harga tiket masuk ke sini THB 150. Ini museum juga sih sebenernya isinya, tapi kalo baca-baca review orang, baguuusss banget. Sayang sebenarnya harus terlewati.



Nah, karena udah kelaperan, kami balik ke Victory Monument (kali ini dapat bus no. 28 tanpa AC ternyata tarifnya THB 6,5 per orang) dan lanjut naik BTS ke Ratchathewi untuk main-main ke Mall Platinum. Bukan main sih ya, sholat dan makan aja. Daaannn...saya sukaaaa banget sama mall ini karena tempat sholat-nya bersih, bagus, ada lotion-nya juga plus makanan halal di food court-nya harganya terjangkau (sekitar THB 45 untuk semangkok hidangan sejenis bakso). Mushola di mall ini untuk laki-laki ada di lantai 5 dan perempuan di lantai 2 di zona 2 dekat lift dan toilet.



Nah... setelah cukup istirahat, tadinya kami mau ngemil-ngemil cantik di depan Platinum tapi entah gimana akhirnya malah jalan terus keluar mall mengarah berbelok ke Jalan Ratchadamri. Melihat ada supermarket Big C kami belok dan iseng ngecek harga Nestea Thai Milk Tea. Ternyata miriiiinggg harganya. Kalau di tempat lain sebungkus THB 100, di Big C cuma 90, jadilah kami beli 6 bungkus untuk oleh-oleh dan titipan teman. Selepas belanja dan minum kelapa, kami mencari BTS terdekat (ternyata ada BTS Chit Lom) dan kembali ke penginapan. Harus istirahat nih karena besok mau jalan-jalan ke luar kota. Hihihi.. Oh btw, saya kalo beli kelapa kecil di Thailand suka gemes karena itu kan kelapa muda ya, tapi nggak dikerokin sama yang jual padahal saya suka sekali sama degan-nya. Akhirnya kelapa yang sudah habis airnya itu nggak saya buang tapi saya bawa ke penginapan, saya beli air kelapa kemasan di sevel, dan sesampai di kamar di penginapan saya makan daging kelapanya dengan air kelapa kemasan. Hehehe... Saya nggak mau rugi orangnya!

Asik ya, menutup hari dengan manisnya kelapa Thailand ;)

Tuesday, August 25, 2015

SEA Trip 2: Yeay Saigon!

Sore ini, saya rindu dengan suasana kota Ho Chi Minh. Kota yang dulunya bernama Saigon ini punya kesan tersendiri buat saya. Pertama kali menginjak kota ini terbesit kesan meriah. Lampu dan suasana taman kota yang dipenuhi oleh masyarakat setempat dan para wisatawan dengan beragam aktivitas di dalamnya masih tergambar jelas. Sore ini, pikiran saya melayang ke suatu sore di sana. Sebuah taman kota di pinggir Jalan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh, di mana orang-orang sangat menikmati apa yang ada di sekelilingnya.

Sore ini, saya begitu rindu dengan suasana kota Ho Chi Minh, berharap bisa turut berada di sana sambil menikmati suasan menjelang petang.


Kiriman WhatsApp dari suami saya, Alif, yang sore itu sedang berdesakkan di dalam Commuter Line arah Bogor. Rupanya dia sudah rindu Saigon. Saya tertawa saja, karena tidak biasanya dia membuat jejeran kata romantis untuk memuja sesuatu. Ya tapi wajar, kota itu memang memberikan kesan di luar dugaan kami. Setelah sempat mendengar cerita-cerita soal scamming dan semrawutnya lalu lintas di sana, kami memang pasang rambu hati-hati dan waspada begitu kaki kami menginjak Bandara Tan Son Nhat. Tapi apa yang kami temui? Meriah dan ternyata Ramah! Hmmm... mungkin karena terbantu review dan catatan perjalanan para bloggers sehingga kami menemukan celah untuk merasa nyaman di kota terbesar di Vietnam ini.

Itu gambar bawah, kotanya kayak ada lempengan emas. Entah apa sebenarnya


Tiba malam hari di bandara, sudah tidak ada bus kota dan harus naik taksi. Jadi, setelah melewati antrian imigrasi yang alhamdulillah cepat sekali, kami menukarkan uang Dollar ke Dong di dalam bandara (yang menurut review-review di blog adalah rate terbagus) lalu bergegas keluar bandara sambil harap-harap cemas lirik kiri kanan mencari lokasi pemberhentian taksi. Ternyata, keluar sedikit ke kiri sudah banyak taksi berjejer dan mata kami mencari taksi Vinasun atau Mailinh yang katanya paling aman. Yang nampak lebih dahulu oleh mata adalah taksi Vinasun jadi kami langsung masuk ke dalamnya. Sopirnya masih muda dan tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi kami sudah siapkan print lokasi hotel berikut rutenya. 

Ih ngirit banget cuman nuker segitu. Hihihi...

Kami menginap di Kien Hotel, Bui Vien, sebuah area di District 1 yang bersisian dengan jalan Pham Ngu Lao. Dalam perjalanan ke hotel kami melewati Reunification Palace dan Ben Thanh Market sehingga cukup tau ancer-ancer perjalanan esok hari. Lokasi hotel memang cukup strategis, kamar hotelnya juga bersih, pengelolanya jago Bahasa Inggris, helpful dan yang penting harga hotelnya murah. Yaaa... mungkin karena hotel ini masuk di dalam gang. Untuk 2 malam kami kena tarif hanya Rp. 417.000 (pesan via AirAsiaGo) dan karena keberuntungan, kami mendapatkan kamar dengan balkon yang seharusnya dihargai USD 28. 


Sederhana dan murah tapi bagus, bersih, rapih, nyaman. Cocok buat budget traveler ;) 

Esok harinya, sekitar pukul 09:00 kami keluar hotel untuk berkeliling kota. Sebenarnya, ada keinginan untuk bisa pergi ke Mui Ne, tapi kondisi pasca operasi membuat saya enggan bepergian dengan bus dalam jangka waktu yang lama. Akhirnya, disepakati untuk putar-putar kota saja. Keluar dari jalan penginapan, kami melintasi taman kota yang dirindukan suami saya itu. Begitu taman habis, nampaklah Ben Thanh Market dan terminal bus di depannya. 

Taman seberang Pasar Ben Thanh

Tapi, pagi itu kami mencari Nguyen An Ninh atau Malaysian Street dulu, yang ternyata posisinya ada di sisi kiri pasar Ben Thanh. Niatnya brunch dan akhirnya memutuskan makan di Rumah Makan Hj. Basiroh. Suami seperti biasa pesan nasi lemak lah ya, kalau saya, mumpung ke Vietnam kenapa nggak coba Pho saja (yaaa...kalau rasanya kurang cocok, bisa makan nasi lemaknya suami :p). 


Pho Halal, harganya sekitar Rp. 35.000

Ternyataaa..... Pho nya seger... Ini enaknya banget-banget. Masih kebayang bentuk dan rasanya sampe sekarang. Selain mie-nya yang dibuat lembut, toge/kecambah panjang-panjang yang dibuat setengah matang-nya berpadu pas dengan kaldu dan irisan daging sapi empuk plus irisan bakso besar rasa lada hitam. Apalagi ditambah sambal dan perasan jeruk nipis yang dicampur irisan cabe rawit merah kecil. Enaknyaaaa.... Tapi saya kurang suka sama daun selasihnya. Rasanya aneh kayak mentol. Mungkin lidah saya saja yang kurang cocok dengan paduannya. Overall, aku mau balik lagi ke Hj. Basiroh dong :D. Apalagi, ada jajanan enak. Suami beli martabak sementara saya pilih bingka ubi kayu (bingka singkong) buat bekal yang harganya masing-masing VND 25.000 (skitar Rp. 13.000).

Setelah kenyang, mulailah kami jalan kaki berbekal peta dari Mbak pengelola Hotel dan panduan jalan yang sudah dibuat. Pertama, masuk Ben Thanh Market. Mirip Pasar Beringharjo deh. Hehehe... Bedanya, ini isinya souvenir-souvenir gitu. Dan karena niatnya memang cuma masuk jadi ya sudah kami melintas saja dan lanjut berjalan kaki melintasi jalan Le Loi mengikuti arah orang-orang ramai berjalan. Selama berjalan, rasanya seneng banget karena ramai tapi nggak macet. Menengok ke arah seberang kanan, nampak Bitexco Tower dan setelah berjalan lurus terus menengok ke kiri, tiba-tiba melihat bangunan yang familiar waktu googling. "Lha, udah nyampe city hall aja ini kita," kata saya. Kami pun foto-foto dan ngobrol-ngobrol sambil menikmati pemandangan area city hall yang lapang. "Malam pasti bagus nih," kata suami dan akhirnya kami memang kembali lagi di malam harinya dan dibuat terkesan dengan permainan air mancurnya. Simple lho sebenarnya, tapi baguuuusss karena itu di ruang terbuka yang bisa diakses dengan mudah. 

Seru ya seru ya city hall dan air mancurnya

Puas foto-foto kami lanjut lurus berjalan dan melihat Saigon Opera House. Setelah itu, kami mampir ke Lucky Plaza di sisi kanan jalan dengan niat berbelanja souvenir. Waktu itu sempat cek katanya belanja di Lucky Plaza nyaman dan terhindar dari jebakan harga. Tapiiiii, yang kami tidak ketahui adalah Lucky Plaza bagian mana. Maka, kami pun lumayan kena 'tipu' karena malah membeli 5 potong magnet kulkas dan 1 t-shirt di lantai bawah, pakai tawar-menawar. Iyaa.... kami salah. Harusnya, naiklah ke LANTAI 3, cari SWALAYAN dan berbelanjalah dengan HATI BENERAN NYAMAN karena harganya murah dan fixed! Lumayan nyesel belanja di bawah tapi well, emang ada aja yang begitu sih kalo kita jalan-jalan. Hihihi...

Di lantai 3 kami belanja pakai kartu kredit (padahal juga belanjaan nggak sampai Rp. 200 ribu, tapi takut uang Dong-nya habis, karena memang kami cuma menukar USD 50 untuk kebutuhan 2 hari di HCMC). Lumayan, dapat jajanan lucu halal yaitu kripik biji lotus yang katanya berfungsi menstimulasi sistem pencernaan dan cocok untuk diet karena juga bisa menyeimbangkan sistem asupan tubuh. Ya, entahlah, yang jelas saya doyan karena manis kriuk-kriuk kayak kripik jagung. Nah, untuk sebungkus 250 gram, harganya sekitar Rp. 50.000. 

Ini lho Lotus Seed Chips

Habis belanja oleh-oleh, ternyata sudah masuk waktu sholat Dzuhur, maka meluncurlah kami ke Masjid Musulman (Saigon Central Mosque) yang tidak jauh dari Lucky Plaza (tinggal belok kanan kalau sudah ada di Jalan Dong Khoi) dan di seberangnya ada Restoran Halal@Saigon. Tapi kami nggak coba masuk resto-nya karena masih kenyang. Jadilah kami men-jamak sholat, berteduh sebentar, dan beli es krim seharga VND 10.000, menyantapnya dan berkenalan dengan sekelompok anak muda asal Malaysia yang juga sholat di masjid itu. Senengnya traveling ya kayak gitu, dapat kenalan, nambah teman instagram dan bikin kita makin ngerasa berwarna. 

Masjid Musulman dan foto dari IG nya @zainurassyiqin, temen baru

Udah seger, lanjut lagi perjalanan pengen liat sungai kayak apa. Sebenernya kalau sore-sore asik banget jalan-jalan di tepi sungai, tapi karena waktu itu siang lumayan terik, jadi keliatan biasa-biasa aja sungainya. Kami istirahat dan duduk-duduk sebentar trus lanjut mencari Notre Dame Cathedral yang katanya berseberangan dengan Saigon Central Post Office. Matahari sedang kurang bersahabat ketika kami tiba di Cathedral, jadi hasil foto kurang bagus. Kami pun buru-buru masuk ke Kantor Pos supaya teduh. 



Kantor Pos-nya nyenengin banget. Tegel-nya bagus, arsitekturnya juga sederhana tapi megah, trus bisa foto-foto di telephone box. Yang paling penting, bisa belanja souvenir yang mewakili Vietnam dengan harga wajar banget. Ah, love, love, love....



Puas berkeliling, kami pun kembali ke hotel untuk beristirahat karena malamnya pengin balik lagi ke city hall memandangi lampu-lampu-nya dan berbaur dengan warga menikmati air mancurnya. Btw, kami memang tidak pergi ke War Remnants Museum karena saya nggak cukup niat melihat peninggalan perang. Akhir perjalanan kami memang antiklimaks. Ini karena sebenarnya selesai berjalan malam kami ingin mencari banh mi halal di Bui Vien dekat Masjid Nancy atau Masjid Jamiul Islamiyah tapi ternyata lumayan jauuuhhhhh dari penginapan. Jadilah kami belok ke Circle K dan berakhir di kamar menyantap Indomie rendang dan cabe hijau. Hehehe... Yang penting halal.

Esok harinya, kami bersiap-siap ke airport untuk perjalanan selanjutnya setelah sekali lagi berjalan melintasi taman kota dan city hall. Ahhhh... berat meninggalkan HCMC. Berat karena masih banyak yang harus dikunjungi tapi tenaga dan waktu yang belum memungkinkan. Ya, mungkin lain kali. Bahkan saat keluar hotel, saya seperti orang curhat ke Mrs. Feung sang pengelola hotel, mulai bicara nggak jelas bahwa saya bakal balik lagi ke Vietnam, yang pastinya cuma dijawab "thank you, thank you, bye"...

Nah, kali ini kami kembali ke airport tidak dengan taksi karena mau ngirit. Jadilah kami menunggu bus kota di terminal di seberang Ben Thanh Market. Cari saja lorong bus yang ada tulisannya 152 yang arahnya menjauhi jalan Pham Ngu Lao. Cukup keluarkan uang VND 5000 per orang (ih nggak sampe Rp. 3000), duduk manis sekitar 45 menit dan turunlah di airport pemberangkatan internasional. 

Time to say goodbye dan lanjut terbang lagi. Kemana? BANGKOK kakak!... Horeee..... Bye...bye... Vietnam.... Cam o'n Saigon....

Wednesday, August 19, 2015

SEA Trip 1: Hey There Red Square!

Sinar matahari sudah cukup terik pagi itu ketika sopir bus menurunkan kami di kawasan Bangunan Merah. Kami memang kesiangan karena kelamaan mengagumi Masjid Al-Azim, Melaka. Bukan salah masjidnya, tapi tempat itu terlalu khidmat bagi kami untuk menunggu subuh, menjadi jamaahnya, bahkan bisa sekalian menumpang mandi. Gratis dan nyaman.

Iya, penerbangan Air Asia semalam mendaratkan kami di negeri tetangga pada pukul 09:35 dan dengan cita-cita sholat subuh di Masjid Selat Melaka, kami memutuskan membeli tiket bus Transnasional seharga RM 24 per orang dan berangkat pukul 01:30 (dari seharusnya jadwal pukul 01:15). Ternyata, tidak butuh waktu lama untuk tiba di Melaka Sentral. Belum tuntas kantuk kami, sopir sudah menyuruh kami turun dari bus masih dengan kondisi mata yang belum sempurna terbuka. Pantas, baru jam 03:30. 

Melaka Sentral pun masih tidur, hanya ada beberapa taksi dan sebuah tempat makan India dengan lampunya yang terang benderang menyambut kami. Jadi, di sanalah kami berpikir apakah jadi melanjutkan perjalanan ke Masjid Selat Melaka. Sadar bahwa tidak pandai tawar menawar harga, kami urungkan niat naik taksi ke Masjid Selat Melaka dan mendapat info dari sang pengelola tempat makan bahwa ada masjid besar yang cantik tidak jauh letaknya dari situ dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Ternyata jalan kaki yang dimaksud adalah melintas highway dan jarak dekat yang dimaksud adalah lebih dari 2 km. Cukup melelahkan, terlebih selepas mandi kami harus menempuh jalan yang sama untuk pergi ke Melaka Sentral. Bisa dipastikan keringat sudah bercucuran ketika kami masuk ke dalam bus di platform 17 Melaka Sentral (cukup bayar RM 1,5) yang mengantar kami ke kawasan wisata Melaka.

Dari gelap sampai matahari bersinar terang di Masjid Al Azim

Apa rencana pertama? Mencari tiket kembali ke KLIA 2 yang menurut informasi bisa dibeli di Mahkota Medical Centre. Sayangnya, kami tidak mendapatkan informasi kalau counter tiket tidak beroperasi pada hari Minggu. Jadilah dengan langkah gontai kami sepakat untuk nostalgia sebentar perjalanan kami 2 tahun silam, mencari sarapan, dan kembali ke Melaka Sentral untuk mencari cara kembali ke KLIA 2 setelah membaca service routes website-nya bikin kami cemas karena tidak ada jam keberangkatan yang pas.

Jadiiii.... sudah pasti gagal rencana kami main ke Masjid Selat Melaka dan makan siang di Kedai Upin Ipin. Nikmati saja apa yang ada di depan mata. Jalan santai dari Mahkota Medical Centre kembali ke Bangunan Merah, foto-foto sebentar dan langsung pergi ke Jonker Street. Iya, kami mau mencoba Jonker 88 yang terkenal itu.

Kawasan Bangunan Merah dan Melaka River di seberangnya

Mumpung masih rapih, pose di depan Jonker Street

Sangat menyenangkan pergi ke sana di jam-jam brunch. Masih sepi. Sebelumnya sempat khawatir juga apakah kami yang berpacu dengan waktu ini akan bisa menikmati makanan kalau cuma punya waktu sedikit dan masih harus mengantri. Ternyataaaa... bahagiaaa... bisa puas makan di sana. Kalau suami pilih nasi lemak dan rendang ayam, menu yang saya makan adalah Baba Laksa Kahwin Nyonya Asam Laksa. Hahaha.. panjang ya. Untuk minuman pastinya kami pilih cendol. Bagaimana rasanya? Saya dan suami menikmati kombinasi gurihnya nasi lemak dan spicy-nya rendang ayam (yang sebenarnya lebih mirip kari ketimbang rendang kalo di Indonesia) dan rasa asam gurih yang ada di hidangan kami. Irisan ikan tuna di menu Kahwin tadi, itu bagian yang paling saya suka. Sedap!

Menu Jonker 88 pesanan kami yang sungguh lebih enak rasanya dibanding penampilannya. Cukup keluarkan RM 15 per orang dijamin puas!

Selesai makan, kami pun bergegas kembali ke Bangunan Merah untuk mencegat bus kembali ke Melaka Sentral. Suami sudah khawatir bahwa kami harus pergi ke Puduraya atau Terminal Bersepadu Selatan baru ke KLIA 2 kalau ketinggalan bus. Wuihhhh.... menegangkan karena rasanya seperti kejar-kejaran. 

Alhamdulillah, ternyata dari Melaka Sentral, ada bus yang berangkat ke KLIA sekitar pukul 13:00. Tenanglah kami dan bahkan bisa melepas penat di McD Melaka Sentral walau hanya memesan es krim dan pai epal. Irit tapi pas.

Kenapa kami mesti buru-buru dari tadi? Itu karena kami harus berangkat ke HO CHI MINH pukul 19:40 dan kami tidak mau berspekulasi tentang macetnya jalan di akhir pekan. Jadi, lebih baik menunggu di airport, sholat, dan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang.