Pukul 03:45, jalanan masih gelap tapi langkah kami sudah bergegas.
Terlalu bersemangat malah untuk ukuran orang yang kurang dari 4 jam tidur. Efek
bahagia mau liburan sepertinya. Hehehe... Iya, ini karena sebulanan belakangan
Palip (lagi demen nyebut 'Alif' begini dalam hati, hahahaha) sibuk dengan roadshow acara
kantornya dan saya galau tak berkesudahan menghadapi tesis saya dan
cobaan-cobaan lain dalam hidup. Hahahaha.... Jadi sungguh, ini adalah waktu
yang lumayan tepat bagi kami santai sejenak tanpa memikirkan apapun kecuali
'gimana kalau nyasar atau over budget?'
*Catatan: 1 MYR sekitar Rp. 3.300,-
Trus
gimana Penang?
Lewat jalur darat yang makan waktu 4,5 jam atau lewat udara yang
cuma setengah jam dari KL, Penang sama-sama mengesankan. Kenapa? Suguhan
pemandangan saat memasuki pulau ini sudah membuat hawa liburan terasa. Jambatan
Pulau Pinang atau hamparan pemandangan dataran tinggi pasti menyambut setiap
pelancong yang datang. Terlebih lagi, transportasi murah, ragam makanan yang
cocok di lidah dengan harga masuk akal, serta kotanya bisa membawa kita
merasakan beragam suasana: Melayu, Cina, India, bahkan rasa kebarat-baratan
yang otentik bisa ditemui di sini. Hal paling penting buat saya: kopinya enak!
(kopi warung lho bukan versi cafe).
Nah, pemeran perjalanan kali ini adalah saya dan Palip si suami
satu-satunya (ya iyalah) dan teman kantor merangkap teman kuliah saya yang
pinter banget, Mbak Ratih. Makanya judul posting kali ini AIR (Alif, Ied,
Ratih—alay detected). Hahahaha....
Karena kami naik pesawat untuk masuk ke Pulau ini, kami kemudian
melanjutkan perjalanan ke Terminal Bus Komtar dengan bus jurusan jetty (kalau
tidak salah no. 401 karena cuma ada 1 bus itu) yang sudah terparkir rapih
begitu kami keluar bandara. Dengan tarif 2,7 MYR selama setengah jam
perjalanan, kami pun tiba di lokasi. Menginap di Kimberley Hotel di
Jalan Sungai Ujong cukup menyenangkan karena tinggal menyeberang jalan dari
Komtar. Saya dan Palip menginap di kamar standard king dengan ukuran tidak
terlalu besar dan tampias ketika turun hujan, wifi pun kurang kencang. Tapi,
teman saya, Mbak Ratih, dia mendapatkan kamar dengan posisi di depan yang
menurutnya memuaskan. Btw, desain kamarnya simple, minimalis dengan pencahayaan
temaram, jadi terlihat sangat indah sebenarnya.
Our simple Standard King Room |
Setelah beberes, kami berniat mencari cafe untuk menghabiskan
malam. Pilihan pertama adalah Tavern in Park di Jalan Timah yang menuai beragam pujian baik di
blog-blog maupun di Instagram. Seorang teman pun merekomendasikan. Makin
mantablah langkah kami. Tapi sayang, begitu tiba di sana sedang ada instalasi
untuk pop up market yang
diadakan pada hari Ahad-nya. Jadilah bayangan tempat yang menawan dengan
lampu-lampu indah sirna seketika. Untunglah set crostini yang saya pesan punya tampilan menawan dengan rasa
yang sangat memuaskan.
Crostini: A set of 3 for 18 MYR (Peanut Butter Banana, Strawberry Blueberry, and Smoked Salmon) |
Masih merasa lapar dan agak kecele, kami mencari cafe lagi dari
daftar contekan itinerary dan
membandingkan foto-foto yang tersedia di dunia maya. Pilihan pun jatuh ke Awesome Canteen at Sekeping Victoria. Aduuuhhhh.... yang
ini kece beneran tempatnya dan kami langsung khusyuk foto-foto. Di sana Palip
pesan orange kyuri smoothies dan Mbak Ratih coba spaghetti aglio olio sementara
perut saya masih cukup puas dengan crostini tadi jadi memutuskan untuk
menikmati suasana saja. Setelah habis semua makanan, kami pun kembali ke hotel
dengan berjalan kaki. (Iya, kemana-mana asal di bawah 2 km masih dijabanin
jalan kaki walau pegel juga kalau jaraknya maksimum. Well, pertambahan usia
memang tidak mampu berdusta. Hahahaha...)
Interior-nya Awesome Canteen |
Keesokan harinya
(Jumat, 27 Mei), kami sarapan nasi lemak di Komtar dekat dengan tempat kami
mencegat bus Rapid Penang. Tadinya tidak menyangka rasa makanannya akan enak
karena namanya pun makan di terminal ya. Tapi, ternyata dengan harga murah kami
puas makan nasi lemak yang enak dan bersih lengkap dengan minum kopi (bukan
kopi O, kalau pagi-pagi lebih enak kopi pake susu) dan nyicip snack enak. Palip
suka sekali dengan popiah, sejenis lumpia, sementara saya, apapun makanannya,
pasti minum kopi. Ya abis, 1 ringgit aja dapet rasa yang kental, tanpa ampas,
manisnya pas, dan nggak bikin saya sakit. Hihihii...
Selepas sarapan,
perjalanan pun dimulai. Kami naik bus no. 204 (bisa juga 203 dengan tarif 2
MYR) untuk pergi ke Kek Lok Si
Temple. Suasana masih sama dengan 5 tahun lalu ketika saya pergi ke sana
bersama sahabat saya. Lelah menapaki anak tangga dan mendapatkan konsep tempat
wisata yang ‘nanggung’ karena jalan menuju lokasi yang seperti tidak dirawat
baik dan agak terkesan kumuh. Tapi, setelah naik lift ke atas (3 MYR
bolak-balik), pemandangan di atas memang bagus; dan yaaa... bolehlahhh foto
dengan latar belakang Dewi Kuan Yin setinggi 30,2 meter.
Seru ya foto-foto di atas gini macem di Hongkong (padahal belum pernah ke HK) |
Puas dan lelah dengan
perjalanan di Kek Lok Si, kami mencegat bus 204 lagi menuju Bukit Bendera
dengan tarif 1,4 MYR. Mau liat, seperti apa kerennya Penang Hill yang sering disebut orang-orang.
Dengan membayar 30 MYR per orang kita bisa naik kereta dengan lintasan
sepanjang 1.996 meter bolak-balik. Namun, tepat saat kereta akan berjalan,
hujan turun lebat. Saya, Palip, dan Mbak Ratih cepat menyusup ke ruang kemudi
agar bisa mendapatkan pemandangan lintasan kereta. Sebenarnya ada yang
menyarankan, agar mendapatkan sensasi maksimal, saat kereta bergerak menuju upper station, pilihlah
tempat di belakang dan saat turun pilihlah tempat di depan. Namun, dengan
kondisi pengunjung yang amat banyak, kami tetap pilih tempat di depan agar bisa
melihat pemandangan, bukannya melihat punggung pengunjung lain.
Pemandangan dari Penang Hill dan Owl Museum |
Sampai di atas gimana? Bagussss banget pemandangannya. Puaslah
foto-foto. Hawanya pun sejuk. Dan karena hujan pun sudah berhenti, tersisalah
kabut yang menggantung. Romantis gitu lah... Hahahaha.... Nah, terus dengan
isengnya kita masuk ke Owl Museum. Sebenernya ini karena obsesi saya sama
burung hantu. Seneng aja sih liatnya walau sebenernya agak nggak meaning juga
masuk karena ujung-ujungnya jadi tempat jualan souvenir. Untunglah, karena saya
membawa student card, diskon
50% dari yang aslinya 12 MYR jadi 6 saja. Hihihi... selesai ke museum, laper
dong. Ada 2 pilihan tempat makan di atas. Pertama yaitu David Brown’s
Restaurant & Tea Terraces buat yang suka fine dining, dan satu
lagi versi makanan merakyatnya ada di Cliff Cafe.
Pastinya kami masuk Cliff Cafe dong, makanannya pun enak dengan harga wajar.
Terlebih setelah lelah jalan-jalan, minum teh ais (es teh tarik) sungguh yaaa
melunturkan hawa-hawa negatif, jadi seger lagi.
Kami pulang masih siang, sedih deh, nggak ada jumatan di mesjidnya
Penang Hill, padahal banyak lho yang udah naik dan pengen jumatan. Jadilah kami
kembali ke hotel dulu, sholat dan istirahat. Sekitar pukul 17:30 waktu setempat
(dan amazed karena
masih terang benderang bagai jam 15:00) kami naik free shuttle bus dari
Komtar untuk iseng nengok daerah sekitaran Padang Kota Lama dimana ada city hall dan esplanade serta
entah pantai apa namanya. Rencananya, menikmati es krim kelapa dengan taburan
jagung manis, kacang, dan kolang-kaling sambil menunggu matahari terbenam.
Eskrim dan selfie nggak karuan |
Daaann... karena tak
kunjung terbenam, kami tak sabar, hahahaha... jadilah kami berjalan kaki mencari
minum ke arah Masjid Kapitan
Keling menunggu waktu magrib
di sana (jam setengah 8 malam aja dong baru magrib). Setelah menjamak sholat,
kami berjalan kaki mencari bus yang mungkin dapat membawa kami ke arah
Persiaran Gurney, sayangnya, jalan terlalu gelap dan sepi sehingga kami
putuskan untuk memesan taksi online saja. Dengan jarak sekitar 5 km-an dan
tarif 5 MYR kami tiba di Persiaran
Gurney dan ditunjukkan oleh
pak supir baik hati tempat makan ‘komplek halal’.
Di sana, Palip dengan
semangatnya menuju ke tempat beraneka ragam lauk terpampang dengan tulisan:
PASEMBUR—ROJAK—CUCUR UDANG. Beraneka gorengan seperti bakwan, udang goreng,
tahu, dan semacam otak-otak, serta aneka hidangan lauk yang diberi tepung lalu
digoreng bisa dipilih bebas oleh pembeli dan kemudian diberikan kepada penjual
untuk selanjutnya dipotong-potong, diberi taburan sayuran (kayaknya bengkoang,
timun, dan wortel) dan disiram bumbu kacang manis. Jadilah Pasembur. Walau
terlihat seperti ‘diublek-ublek’, anehnya enak lho rasanya. Mbak Ratih tetep
lho order nasi lemak tapi ikutan beli cucur udang yang disiram bumbu kacang,
sementara saya iseng mencoba satay lembu yang ternyata muanis banget rasanya.
Untung saya nggak salah pilih minuman, karena saya pesan ais limau yang segar
dan ringan rasanya untuk mengimbangi pasembur dan satay. Ini sebenarnya kayak
minuman jeruk kunci di daerah Sumatera. Karena hari makin larut, selepas makan
dan mampir sebentar ke Gurney Plaza, kami menyudahi hari dengan kembali ke
hotel.
Keesokan harinya (Sabtu, 28 Mei), hari terakhir Mbak Ratih di
Penang, sementara saya dan Palip masih punya sisa waktu 1 hari. Kami mau
foto-foto di bagian Georgetown yang disebut-sebut sebagai World Heritage Site.
Sebenarnya sih, nggak terlalu peduli bagian mana sih itu heritage-nya. Inceran
utama sesungguhnya adalah: STREET ART-nya dong
pastinya. Tapi, sebelum itu kami mencari Sri Weld Food Court yang katanya ada Ali Nasi Lemak di
depannya. Nasi lemak baru matang dan siap dibungkus-bungkus pukul 08:30
sementara kami sudah ada di lokasi dari pukul 07:45, jadilah sembari menunggu
saya tetap yaaa pesan kopi dan ternyata penjual nasi lemak sudah siap dengan
beragam gorengan seperti bakwan. Indera penciuman saya yang tiba-tiba tajam
menangkap aroma cempedak, dan tanpa pikir panjang langsung saya bungkus. Oh
iya, trus gimana rasa nasi lemaknya? Juara sih menurut saya. Pantes lah
orang-orang antri.
Kopi favorit dan cempedak goreng yang biasa aja penampakannya tapi oke banget rasanya |
Nasi lemak disusun berjejer disiram kuah dan ditaburi lauk pauk dengan aroma harum ketan dan daun pisang: irresistible! |
Selesai makan, berbekal peta di tangan, pastinya kami pengen punya
foto-foto mural. Nggak tau deh judul aslinya apa saja, pokoknya mural-mural itu
jamak dipajang para pelancong yang pergi ke Penang dan menurut kami itu adalah
ciri khas. Jadilah kami mengelilingi kawasan George Town dan mencari
lokasi-lokasi mural yang ternyata terpencar-pencar dan tak jarang tersembunyi.
Seruuuuu..... apalagi kalau fotonya antri, yang ada jadi salah tingkah pas mau
gaya.
Jalanan pagi berasa dimanaaa gituuuu.... |
Pasti familiar dong sama mural-mural ini: happy banget nemu mereka |
Seharian
berputar-putar sampai matahari tepat di atas kepala. Tapi, masih ada satu
lokasi seru lagi nih. Upside Down Museum alias Museum Kebolak Balik lah
yaaaa... Bayarnya 27 MYR, tapi karena lagi-lagi ada student card, saya dapat
diskon jadi cuma bayar 16 MYR. Museum ini menyenangkan. Kenapa? Karena ada
staf-staf museum yang sudah hapal betul spot foto dengan angle terbaik. Mereka mengarahkan kita di
setiap ruangan dan mengambilkan foto serta video para pengujung (pake perangkat
miliki pengujung pastinya). Mungkin inilah kenapa masuknya agak mahal ya untuk
ukuran museum yang tidak terlalu luas, karena memang ada jasa mengambilkan
gambar. Tapi, malah jadi rapih, pengunjung pun tertib.
Selesai foto-foto dengan gaya-gaya akrobatik (man, pegel
banget udah lama nggak yoga terus mesti kaki tangan peregangan mulu) kami
kelaparan. Daftar tempat makan kami berikutnya adalah: Nasi Kandar Line Clear. Nama
ini selalu muncul tiap kali googling makanan di Penang. Penasaran dong
jadinya. Akhirnya kami (lagi-lagi) jalan kaki dan menemukan lokasinya berada di
sebuah gang. Bentukannya nggak seperti restoran tapi banyak sekali yang makan
di situ, dan selalu antri. Soal rasa gimana? Saya kasih bintang 5 dari 5.
Kenapa? Itu nasi biryani-nya enak banget, nggak amis, nggak aneh. Bahkan Palip
yang picky eater pun
doyan. Sialnya, siang itu saya percaya diri banget ngambil udang (sumpah, ini cuma
sebiji doang) sama ayam goreng segala lengkap dengan sayur kubis dan pesan ais
limau. Kena berapa? 35 MYR aja dong. Yaaa tapi nggak apa-apa deh, rasanya
ngangenin. Bikin puas.
udang harga lobster tapi enak bangeeettt, plus itu ais limau-nya juga seger |
Selesai makan, kami
putar-putar nggak jelas, sampai masuk mall segala dan berakhir dengan drama
deg-degan karena Mbak Ratih mesti pergi ke bandara. Alhamdulillah semua masih
lancar jadi Mbak Ratih nggak ketinggalan pesawat. Saya dan Palip gimana? Berasa
ngos-ngosan trus mampir Prangin Mall beli cendol.
Penang Road Famous Teochew Chendul |
Menikmati sisa-sisa
hari berdua dengan kembali berjalan-jalan selepas istirahat dan beberes. Kemana
lagi? Dengan isengnya kami main ke AB Cafe alias Aini Bakker yang bernuansa hitam
putih dan memesan moist cake plus kopi. Well, karena sudah terbiasa dengan kopi kaki
lima, kok ya malah jadi nggak mantep kalau minum kopinya cafe. Hehehehe....
Tapi okelah... cukup menyenangkan bisa menghabiskan waktu berdua, ngobrol
ngalor ngidul (yang sampai sekarang saya juga bingung kenapa ini bisa terus
terjadi) dan foto-foto. Selepas itu, kami iseng lah ya kembali jalan menyusuri
George Town. Ide saya adalah pergi ke Little India yang pasti meriah dong di
malam minggu. Tapi apa yang terjadi? Palip malah ketakutan dan insecure dengar lagu-lagu India yang serupa
mantra. Hahahahaha... Ya sudahlah... kita pindah lokasi saja.
Kami kemudian
mengarah kembali ke hotel dan ingin melihat keriaan di Lebuh Kimberley di mana
mayoritas pengunjungnya adalah etnis Tionghoa; sepertinya karena makanannya
cocok dengan mereka. Tepat di ujung jalan dari arah hotel tempat kami menginap,
saya tiba-tiba mencium wangi yang sangat familiar “Kok bau duren sih,” kata
saya girang. Palip biasa aja lempeng. Saya pun mempercepat langkah dan melihat
sebuah mobil pick up berisikan durian-durian dengan ukuran kecil. Banyak orang berkerumun.
Saya memberanikan diri mendekat dan bertanya harga. Para penjual yang ramah dan
pelancong yang juga ramah membuat saya lebih percaya diri mendekat. Ya abis,
deg-degan mahal kan harga durian. Ternyata oh ternyata, harganya murah. Saya
iseng memegang sebuah durian kecil yang kata penjualnya kalau tidak manis bisa
ditukar. Berapa harganya? 5 MYR saja (ini setelah ditimbang ternyata beratnya
500 gr). Trus gimana rasanya? Aduuuuhhhh... legit banget. Feel free banget makannya, karena nggak banyak
makan, tapi mantab rasanya jadi puas; harganya pun murah luar biasa. Padahal
itu durian kampong dengan usia pohon kata penjualnya mencapai 100 tahunan. Ah, I don’t care, yang penting enak
dan murah. Hihihi.... Maka, satu cita-cita lagi pun tercapai: Makan duren Malaysia
(sungguh cita-cita yang cetek).
Durian Kampong |
Dari situ sebenarnya kami masih ingin cari makan tapi sepertinya
sudah terlalu larut malam sehingga makanan pun terbatas. Alhamdulillah ketemu
tukang buah segar sehingga kami bisa menutup hari dengan bahagia. Lagi-lagi
nggak merasa bersalah sudah mengkonsumsi banyak lemak hari itu karena endingnya
makan semangka dan jambu air. Hihihi....
Hari
terakhir gimana? Sedih laaahhh... singkat pun. Setelah beberes dan sarapan di
Komtar (pastinya Palip mbungkus popiah) kami harus buru-buru naik bus ke
KL.
2 comments:
I love Popiah sangat!!!!
Post a Comment