Monday, June 6, 2016

AIR (Asia) Penang Trip 2016

Pukul 03:45, jalanan masih gelap tapi langkah kami sudah bergegas. Terlalu bersemangat malah untuk ukuran orang yang kurang dari 4 jam tidur. Efek bahagia mau liburan sepertinya. Hehehe... Iya, ini karena sebulanan belakangan Palip (lagi demen nyebut 'Alif' begini dalam hati, hahahaha) sibuk dengan roadshow acara kantornya dan saya galau tak berkesudahan menghadapi tesis saya dan cobaan-cobaan lain dalam hidup. Hahahaha.... Jadi sungguh, ini adalah waktu yang lumayan tepat bagi kami santai sejenak tanpa memikirkan apapun kecuali 'gimana kalau nyasar atau over budget?'

Dan....seperti biasa, kami booking Air Asia yang di bulan November 2015 punya program BIG Point 0 (artinya kita cuma bayar airport tax saja untuk bepergian). Untuk tiket berdua PP Jakarta-Kuala Lumpur (KL)-Jakarta kami dapat harga Rp. 585.000,- dan untuk lanjut ke Penang cukup bayar 36,04 MYR* (sekitar Rp 120.000 kurang berdua). Penang-KL kami memutuskan naik bus (karena pesawat balik kebetulan kurang cocok harganya) dengan tarif 38 MYR per orang. Kok ini jadi murahan naik pesawat ya itungannya? Hahahaha... Sempet iseng cek web Malindo yang harga tiketnya murah banget 19 MYR, tapi pajaknya kok ratusan sih -___-.


*Catatan: 1 MYR sekitar Rp. 3.300,-

Trus gimana Penang?

Lewat jalur darat yang makan waktu 4,5 jam atau lewat udara yang cuma setengah jam dari KL, Penang sama-sama mengesankan. Kenapa? Suguhan pemandangan saat memasuki pulau ini sudah membuat hawa liburan terasa. Jambatan Pulau Pinang atau hamparan pemandangan dataran tinggi pasti menyambut setiap pelancong yang datang. Terlebih lagi, transportasi murah, ragam makanan yang cocok di lidah dengan harga masuk akal, serta kotanya bisa membawa kita merasakan beragam suasana: Melayu, Cina, India, bahkan rasa kebarat-baratan yang otentik bisa ditemui di sini. Hal paling penting buat saya: kopinya enak! (kopi warung lho bukan versi cafe).

Nah, pemeran perjalanan kali ini adalah saya dan Palip si suami satu-satunya (ya iyalah) dan teman kantor merangkap teman kuliah saya yang pinter banget, Mbak Ratih. Makanya judul posting kali ini AIR (Alif, Ied, Ratih—alay detected). Hahahaha....

Karena kami naik pesawat untuk masuk ke Pulau ini, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Terminal Bus Komtar dengan bus jurusan jetty (kalau tidak salah no. 401 karena cuma ada 1 bus itu) yang sudah terparkir rapih begitu kami keluar bandara. Dengan tarif 2,7 MYR selama setengah jam perjalanan, kami pun tiba di lokasi. Menginap di Kimberley Hotel di Jalan Sungai Ujong cukup menyenangkan karena tinggal menyeberang jalan dari Komtar. Saya dan Palip menginap di kamar standard king dengan ukuran tidak terlalu besar dan tampias ketika turun hujan, wifi pun kurang kencang. Tapi, teman saya, Mbak Ratih, dia mendapatkan kamar dengan posisi di depan yang menurutnya memuaskan. Btw, desain kamarnya simple, minimalis dengan pencahayaan temaram, jadi terlihat sangat indah sebenarnya. 





Our simple Standard King Room

Setelah beberes, kami berniat mencari cafe untuk menghabiskan malam. Pilihan pertama adalah Tavern in Park di Jalan Timah yang menuai beragam pujian baik di blog-blog maupun di Instagram. Seorang teman pun merekomendasikan. Makin mantablah langkah kami. Tapi sayang, begitu tiba di sana sedang ada instalasi untuk pop up market yang diadakan pada hari Ahad-nya. Jadilah bayangan tempat yang menawan dengan lampu-lampu indah sirna seketika. Untunglah set crostini yang saya pesan punya tampilan menawan dengan rasa yang sangat memuaskan. 

Crostini: A set of 3 for 18 MYR (Peanut Butter Banana, Strawberry Blueberry, and Smoked Salmon)

Masih merasa lapar dan agak kecele, kami mencari cafe lagi dari daftar contekan itinerary dan membandingkan foto-foto yang tersedia di dunia maya. Pilihan pun jatuh ke Awesome Canteen at Sekeping Victoria. Aduuuhhhh.... yang ini kece beneran tempatnya dan kami langsung khusyuk foto-foto. Di sana Palip pesan orange kyuri smoothies dan Mbak Ratih coba spaghetti aglio olio sementara perut saya masih cukup puas dengan crostini tadi jadi memutuskan untuk menikmati suasana saja. Setelah habis semua makanan, kami pun kembali ke hotel dengan berjalan kaki. (Iya, kemana-mana asal di bawah 2 km masih dijabanin jalan kaki walau pegel juga kalau jaraknya maksimum. Well, pertambahan usia memang tidak mampu berdusta. Hahahaha...)

Interior-nya Awesome Canteen

Keesokan harinya (Jumat, 27 Mei), kami sarapan nasi lemak di Komtar dekat dengan tempat kami mencegat bus Rapid Penang. Tadinya tidak menyangka rasa makanannya akan enak karena namanya pun makan di terminal ya. Tapi, ternyata dengan harga murah kami puas makan nasi lemak yang enak dan bersih lengkap dengan minum kopi (bukan kopi O, kalau pagi-pagi lebih enak kopi pake susu) dan nyicip snack enak. Palip suka sekali dengan popiah, sejenis lumpia, sementara saya, apapun makanannya, pasti minum kopi. Ya abis, 1 ringgit aja dapet rasa yang kental, tanpa ampas, manisnya pas, dan nggak bikin saya sakit. Hihihii...

Selepas sarapan, perjalanan pun dimulai. Kami naik bus no. 204 (bisa juga 203 dengan tarif 2 MYR) untuk pergi ke Kek Lok Si Temple. Suasana masih sama dengan 5 tahun lalu ketika saya pergi ke sana bersama sahabat saya. Lelah menapaki anak tangga dan mendapatkan konsep tempat wisata yang ‘nanggung’ karena jalan menuju lokasi yang seperti tidak dirawat baik dan agak terkesan kumuh. Tapi, setelah naik lift ke atas (3 MYR bolak-balik), pemandangan di atas memang bagus; dan yaaa... bolehlahhh foto dengan latar belakang Dewi Kuan Yin setinggi 30,2 meter.



Seru ya foto-foto di atas gini macem di Hongkong (padahal belum pernah ke HK)
Puas dan lelah dengan perjalanan di Kek Lok Si, kami mencegat bus 204 lagi menuju Bukit Bendera dengan tarif 1,4 MYR. Mau liat, seperti apa kerennya Penang Hill yang sering disebut orang-orang. Dengan membayar 30 MYR per orang kita bisa naik kereta dengan lintasan sepanjang 1.996 meter bolak-balik. Namun, tepat saat kereta akan berjalan, hujan turun lebat. Saya, Palip, dan Mbak Ratih cepat menyusup ke ruang kemudi agar bisa mendapatkan pemandangan lintasan kereta. Sebenarnya ada yang menyarankan, agar mendapatkan sensasi maksimal, saat kereta bergerak menuju upper station, pilihlah tempat di belakang dan saat turun pilihlah tempat di depan. Namun, dengan kondisi pengunjung yang amat banyak, kami tetap pilih tempat di depan agar bisa melihat pemandangan, bukannya melihat punggung pengunjung lain.


Pemandangan dari Penang Hill dan Owl Museum

Sampai di atas gimana? Bagussss banget pemandangannya. Puaslah foto-foto. Hawanya pun sejuk. Dan karena hujan pun sudah berhenti, tersisalah kabut yang menggantung. Romantis gitu lah... Hahahaha.... Nah, terus dengan isengnya kita masuk ke Owl Museum. Sebenernya ini karena obsesi saya sama burung hantu. Seneng aja sih liatnya walau sebenernya agak nggak meaning juga masuk karena ujung-ujungnya jadi tempat jualan souvenir. Untunglah, karena saya membawa student card, diskon 50% dari yang aslinya 12 MYR jadi 6 saja. Hihihi... selesai ke museum, laper dong. Ada 2 pilihan tempat makan di atas. Pertama yaitu David Brown’s Restaurant & Tea Terraces buat yang suka fine dining, dan satu lagi versi makanan merakyatnya ada di Cliff Cafe. Pastinya kami masuk Cliff Cafe dong, makanannya pun enak dengan harga wajar. Terlebih setelah lelah jalan-jalan, minum teh ais (es teh tarik) sungguh yaaa melunturkan hawa-hawa negatif, jadi seger lagi.



Kami pulang masih siang, sedih deh, nggak ada jumatan di mesjidnya Penang Hill, padahal banyak lho yang udah naik dan pengen jumatan. Jadilah kami kembali ke hotel dulu, sholat dan istirahat. Sekitar pukul 17:30 waktu setempat (dan amazed karena masih terang benderang bagai jam 15:00) kami naik free shuttle bus dari Komtar untuk iseng nengok daerah sekitaran Padang Kota Lama dimana ada city hall dan esplanade serta entah pantai apa namanya. Rencananya, menikmati es krim kelapa dengan taburan jagung manis, kacang, dan kolang-kaling sambil menunggu matahari terbenam.

Eskrim dan selfie nggak karuan

Daaann... karena tak kunjung terbenam, kami tak sabar, hahahaha... jadilah kami berjalan kaki mencari minum ke arah Masjid Kapitan Keling menunggu waktu magrib di sana (jam setengah 8 malam aja dong baru magrib). Setelah menjamak sholat, kami berjalan kaki mencari bus yang mungkin dapat membawa kami ke arah Persiaran Gurney, sayangnya, jalan terlalu gelap dan sepi sehingga kami putuskan untuk memesan taksi online saja. Dengan jarak sekitar 5 km-an dan tarif 5 MYR kami tiba di Persiaran Gurney dan ditunjukkan oleh pak supir baik hati tempat makan ‘komplek halal’.

Di sana, Palip dengan semangatnya menuju ke tempat beraneka ragam lauk terpampang dengan tulisan: PASEMBUR—ROJAK—CUCUR UDANG. Beraneka gorengan seperti bakwan, udang goreng, tahu, dan semacam otak-otak, serta aneka hidangan lauk yang diberi tepung lalu digoreng bisa dipilih bebas oleh pembeli dan kemudian diberikan kepada penjual untuk selanjutnya dipotong-potong, diberi taburan sayuran (kayaknya bengkoang, timun, dan wortel) dan disiram bumbu kacang manis. Jadilah Pasembur. Walau terlihat seperti ‘diublek-ublek’, anehnya enak lho rasanya. Mbak Ratih tetep lho order nasi lemak tapi ikutan beli cucur udang yang disiram bumbu kacang, sementara saya iseng mencoba satay lembu yang ternyata muanis banget rasanya. Untung saya nggak salah pilih minuman, karena saya pesan ais limau yang segar dan ringan rasanya untuk mengimbangi pasembur dan satay. Ini sebenarnya kayak minuman jeruk kunci di daerah Sumatera. Karena hari makin larut, selepas makan dan mampir sebentar ke Gurney Plaza, kami menyudahi hari dengan kembali ke hotel.




Dipilih...dipilih....


Setelah dipotong-potong dan disiram bumbu

Keesokan harinya (Sabtu, 28 Mei), hari terakhir Mbak Ratih di Penang, sementara saya dan Palip masih punya sisa waktu 1 hari. Kami mau foto-foto di bagian Georgetown yang disebut-sebut sebagai World Heritage Site. Sebenarnya sih, nggak terlalu peduli bagian mana sih itu heritage-nya. Inceran utama sesungguhnya adalah: STREET ART-nya dong pastinya. Tapi, sebelum itu kami mencari Sri Weld Food Court yang katanya ada Ali Nasi Lemak di depannya. Nasi lemak baru matang dan siap dibungkus-bungkus pukul 08:30 sementara kami sudah ada di lokasi dari pukul 07:45, jadilah sembari menunggu saya tetap yaaa pesan kopi dan ternyata penjual nasi lemak sudah siap dengan beragam gorengan seperti bakwan. Indera penciuman saya yang tiba-tiba tajam menangkap aroma cempedak, dan tanpa pikir panjang langsung saya bungkus. Oh iya, trus gimana rasa nasi lemaknya? Juara sih menurut saya. Pantes lah orang-orang antri.


Kopi favorit dan cempedak goreng yang biasa aja penampakannya tapi oke banget rasanya



Nasi lemak disusun berjejer disiram kuah dan ditaburi lauk pauk dengan aroma harum ketan dan daun pisang: irresistible!


Selesai makan, berbekal peta di tangan, pastinya kami pengen punya foto-foto mural. Nggak tau deh judul aslinya apa saja, pokoknya mural-mural itu jamak dipajang para pelancong yang pergi ke Penang dan menurut kami itu adalah ciri khas. Jadilah kami mengelilingi kawasan George Town dan mencari lokasi-lokasi mural yang ternyata terpencar-pencar dan tak jarang tersembunyi. Seruuuuu..... apalagi kalau fotonya antri, yang ada jadi salah tingkah pas mau gaya.





Jalanan pagi berasa dimanaaa gituuuu....


Pasti familiar dong sama mural-mural ini: happy banget nemu mereka
Seharian berputar-putar sampai matahari tepat di atas kepala. Tapi, masih ada satu lokasi seru lagi nih. Upside Down Museum alias Museum Kebolak Balik lah yaaaa... Bayarnya 27 MYR, tapi karena lagi-lagi ada student card, saya dapat diskon jadi cuma bayar 16 MYR. Museum ini menyenangkan. Kenapa? Karena ada staf-staf museum yang sudah hapal betul spot foto dengan angle terbaik. Mereka mengarahkan kita di setiap ruangan dan mengambilkan foto serta video para pengujung (pake perangkat miliki pengujung pastinya). Mungkin inilah kenapa masuknya agak mahal ya untuk ukuran museum yang tidak terlalu luas, karena memang ada jasa mengambilkan gambar. Tapi, malah jadi rapih, pengunjung pun tertib.


Ketika hidup serasa jungkir balik

Selesai foto-foto dengan gaya-gaya akrobatik (man, pegel banget udah lama nggak yoga terus mesti kaki tangan peregangan mulu) kami kelaparan. Daftar tempat makan kami berikutnya adalah: Nasi Kandar Line Clear. Nama ini selalu muncul tiap kali googling makanan di Penang. Penasaran dong jadinya. Akhirnya kami (lagi-lagi) jalan kaki dan menemukan lokasinya berada di sebuah gang. Bentukannya nggak seperti restoran tapi banyak sekali yang makan di situ, dan selalu antri. Soal rasa gimana? Saya kasih bintang 5 dari 5. Kenapa? Itu nasi biryani-nya enak banget, nggak amis, nggak aneh. Bahkan Palip yang picky eater pun doyan. Sialnya, siang itu saya percaya diri banget ngambil udang (sumpah, ini cuma sebiji doang) sama ayam goreng segala lengkap dengan sayur kubis dan pesan ais limau. Kena berapa? 35 MYR aja dong. Yaaa tapi nggak apa-apa deh, rasanya ngangenin. Bikin puas.


udang harga lobster tapi enak bangeeettt, plus itu ais limau-nya juga seger 

Selesai makan, kami putar-putar nggak jelas, sampai masuk mall segala dan berakhir dengan drama deg-degan karena Mbak Ratih mesti pergi ke bandara. Alhamdulillah semua masih lancar jadi Mbak Ratih nggak ketinggalan pesawat. Saya dan Palip gimana? Berasa ngos-ngosan trus mampir Prangin Mall beli cendol.


Penang Road Famous Teochew Chendul
Menikmati sisa-sisa hari berdua dengan kembali berjalan-jalan selepas istirahat dan beberes. Kemana lagi? Dengan isengnya kami main ke AB Cafe alias Aini Bakker yang bernuansa hitam putih dan memesan moist cake plus kopi. Well, karena sudah terbiasa dengan kopi kaki lima, kok ya malah jadi nggak mantep kalau minum kopinya cafe. Hehehehe.... Tapi okelah... cukup menyenangkan bisa menghabiskan waktu berdua, ngobrol ngalor ngidul (yang sampai sekarang saya juga bingung kenapa ini bisa terus terjadi) dan foto-foto. Selepas itu, kami iseng lah ya kembali jalan menyusuri George Town. Ide saya adalah pergi ke Little India yang pasti meriah dong di malam minggu. Tapi apa yang terjadi? Palip malah ketakutan dan insecure dengar lagu-lagu India yang serupa mantra. Hahahahaha... Ya sudahlah... kita pindah lokasi saja.

Kami kemudian mengarah kembali ke hotel dan ingin melihat keriaan di Lebuh Kimberley di mana mayoritas pengunjungnya adalah etnis Tionghoa; sepertinya karena makanannya cocok dengan mereka. Tepat di ujung jalan dari arah hotel tempat kami menginap, saya tiba-tiba mencium wangi yang sangat familiar “Kok bau duren sih,” kata saya girang. Palip biasa aja lempeng. Saya pun mempercepat langkah dan melihat sebuah mobil pick up berisikan durian-durian dengan ukuran kecil. Banyak orang berkerumun. Saya memberanikan diri mendekat dan bertanya harga. Para penjual yang ramah dan pelancong yang juga ramah membuat saya lebih percaya diri mendekat. Ya abis, deg-degan mahal kan harga durian. Ternyata oh ternyata, harganya murah. Saya iseng memegang sebuah durian kecil yang kata penjualnya kalau tidak manis bisa ditukar. Berapa harganya? 5 MYR saja (ini setelah ditimbang ternyata beratnya 500 gr). Trus gimana rasanya? Aduuuuhhhh... legit banget. Feel free banget makannya, karena nggak banyak makan, tapi mantab rasanya jadi puas; harganya pun murah luar biasa. Padahal itu durian kampong dengan usia pohon kata penjualnya mencapai 100 tahunan. Ah, I don’t care, yang penting enak dan murah. Hihihi.... Maka, satu cita-cita lagi pun tercapai: Makan duren Malaysia (sungguh cita-cita yang cetek).



Durian Kampong
Dari situ sebenarnya kami masih ingin cari makan tapi sepertinya sudah terlalu larut malam sehingga makanan pun terbatas. Alhamdulillah ketemu tukang buah segar sehingga kami bisa menutup hari dengan bahagia. Lagi-lagi nggak merasa bersalah sudah mengkonsumsi banyak lemak hari itu karena endingnya makan semangka dan jambu air. Hihihi....

Hari terakhir gimana? Sedih laaahhh... singkat pun. Setelah beberes dan sarapan di Komtar (pastinya Palip mbungkus popiah) kami harus buru-buru naik bus ke KL. 


Jajanan pagi di Komtar

Untunglah naik bus jadi kami bisa sambil meresapi jalan-jalan di Penang pelan-pelan hingga hilang dari pandangan.

2 comments:

Unknown said...

I love Popiah sangat!!!!

Ky darsa said...
This comment has been removed by a blog administrator.