Situ Gunung, Sukabumi.
Hari pertama di bulan Desember 2012.
Tugas pagi itu: temukan titik akhir. SENDIRI.
Medan: hutan penuh tanaman berduri, rambat, pohon besar, tebing dan jalur curam yang basah karena hujan semalam.
Hiburan: semut rangrang, serangga hutan, komplit dengan suara-suaranya.
Bekal: skill, knowledge dan kompas.
Nama Peserta: Ied Sabilla
Sudut daki: 161 derajat (angka macam apa ini?)
Your attitude would determine whether you'd reach the finish line.
Saya, kompas, dan peta seringnya punya masalah. Maka ketika diberitahu bahwa saya harus mendaki ke arah 161 derajat dari titik keberangkatan, ya pasrah saja.
Selayaknya orang yang mengerti kekurangan diri, maka dari awal saya sangat berhati-hati menerabas hutan ke arah 161 derajat. Berkali-kali melakukan back azimuth atau melakukan cek balik sudut yang saya tempuh. Sempurna.
Sampai ketika saya mendengar suara teman 1 tim Dhini jatuh terguling dan Mas Anto yang berdarah berteriak-teriak tanpa saya bisa melihat mereka, karena tertutup lebatnya tumbuh-tumbuhan hutan, saat itulah saya melihat ke bawah. Kecut hati saya. Melihat ke belakang pun hanya membuat hati saya makin kacau, jadi saya tetap memanjat ke arah depan meski sempat terpeleset dan jatuh karena tanah yang saya pijak longsor.
Ketika rasa lelah mulai memuncak dan tangan mulai berdarah-darah akibat tertusuk duri dan perih karena gigitan semut, yang saya ucapkan ke diri saya saat itu adalah: finish line-nya pasti ketemu, keep climbing! Walau saya pikir saya kayaknya agak mencong nih, sekitar sekian derajat. Efek disorientasi.
Lalu saya pikir saya hampir tiba di titik akhir. Masih melakukan track arah dengan kompas. Ah, sepertinya arahnya benar. Tapi kenapa jalan yang akan saya tempuh ini penuh pandan berduri besar-besar dan menutupi jalan ya? Dan kenapa untuk tiba ke bukit pandan itu jalannya tegak lurus tanpa pegangan ya? Apa kali ini saya harus putar jalan?
Dan yang saya lakukan adalah.... Nekat dong! Udah tau jalannya susah, udah tau bakal jatuh, udah tau banyak duri, udah tau nggak ada pijakan, eh tetap manjat dan merayap di tanah. Hasil akhir: tanah longsor! Saya merosot jatuh, nyangkut di batang pohon. Lalu ngomong sendiri, "Ya Allah, begini amat ya jalan gw. Apa diem di sini aja sampe ditolongin orang? Apa harus muter jalan ya? Tapi kan jauh juga untuk balik ke bukit pandan berduri itu."
Selama beberapa menit saya diam. Pikiran melayang kemana-mana. Ke rumah dan ke orang-orang yang saya sayang. Apa saat itu mereka mikirin saya ya? Ada yang rindu saya nggak ya? Nah, mulai lah mikir aneh-aneh. Kenapa sih, kok susah amat nemu jalan keluar?
Akhirnya saya memutuskan untuk bergerak. Puter jalan lah daripada stuck di batang pohon. Toh tujuan saya jelas: bukit pandan berduri. Nggak bakal ketuker penandanya. Jadi, berjalanlah saya. Melenceng agak jauh, tapi jalannya enak, lurus dan besar. Ketika saya ada di titik bisa belok ke bukit pandan berduri, saya malah mendengar suara teman-teman saya. "Eh, siapa tuh ada suara orang? Sabillaaa..." Mendengar nama saya dipanggil saya melangkah cepat ke sumber suara, meski sebenarnya dalam hati tetap ingin berbelok arah yang saya tuju semula.
Sampai di tempat teman-teman saya, tiba-tiba fasilitator kelompok kami muncul dan mencatat waktu ketibaan saya sambil berkata, "Cuma Bu Iid yang muncul di tempat finish yang seharusnya. Teman-teman yang lain agak melenceng."
Bengong lah saya. Apa saya senang? Biasa saja, karena masih memikirkan si bukit pandan berduri tadi. Kalau saja Allah nggak bikin saya jatuh. Kalau saja saya tetap diam tak bergerak di batang pohon. Kalau saja saya nggak memutuskan putar jalan, saya nggak akan menemukan jalan keluar yang benar.
Emang kadang begitu. Harus dibikin jatuh dulu untuk tau jalan yang harusnya ditempuh itu mana. Sama kayak kita. Kita menuju ke arah yang sama. Mencari kebahagiaan. Mungkin sudut kita berangkat yang beda. Mungkin pada akhirnya melenceng dari yang diharapkan.
Kalau kata Dhini: yang penting jalan terus, pasti ada finish-nya. Meski harus muter, atau kena duri, atau jatuh. Dan jangan sering-sering lihat ke belakang atau ke bawah, malah tambah takut. Manjat aja terus.
So, let us be strong, be good, let's keep on moving with our own way. Let's meet at the top!
Hari pertama di bulan Desember 2012.
Tugas pagi itu: temukan titik akhir. SENDIRI.
Medan: hutan penuh tanaman berduri, rambat, pohon besar, tebing dan jalur curam yang basah karena hujan semalam.
Hiburan: semut rangrang, serangga hutan, komplit dengan suara-suaranya.
Bekal: skill, knowledge dan kompas.
Nama Peserta: Ied Sabilla
Sudut daki: 161 derajat (angka macam apa ini?)
Your attitude would determine whether you'd reach the finish line.
Saya, kompas, dan peta seringnya punya masalah. Maka ketika diberitahu bahwa saya harus mendaki ke arah 161 derajat dari titik keberangkatan, ya pasrah saja.
Selayaknya orang yang mengerti kekurangan diri, maka dari awal saya sangat berhati-hati menerabas hutan ke arah 161 derajat. Berkali-kali melakukan back azimuth atau melakukan cek balik sudut yang saya tempuh. Sempurna.
Sampai ketika saya mendengar suara teman 1 tim Dhini jatuh terguling dan Mas Anto yang berdarah berteriak-teriak tanpa saya bisa melihat mereka, karena tertutup lebatnya tumbuh-tumbuhan hutan, saat itulah saya melihat ke bawah. Kecut hati saya. Melihat ke belakang pun hanya membuat hati saya makin kacau, jadi saya tetap memanjat ke arah depan meski sempat terpeleset dan jatuh karena tanah yang saya pijak longsor.
Ketika rasa lelah mulai memuncak dan tangan mulai berdarah-darah akibat tertusuk duri dan perih karena gigitan semut, yang saya ucapkan ke diri saya saat itu adalah: finish line-nya pasti ketemu, keep climbing! Walau saya pikir saya kayaknya agak mencong nih, sekitar sekian derajat. Efek disorientasi.
Lalu saya pikir saya hampir tiba di titik akhir. Masih melakukan track arah dengan kompas. Ah, sepertinya arahnya benar. Tapi kenapa jalan yang akan saya tempuh ini penuh pandan berduri besar-besar dan menutupi jalan ya? Dan kenapa untuk tiba ke bukit pandan itu jalannya tegak lurus tanpa pegangan ya? Apa kali ini saya harus putar jalan?
Dan yang saya lakukan adalah.... Nekat dong! Udah tau jalannya susah, udah tau bakal jatuh, udah tau banyak duri, udah tau nggak ada pijakan, eh tetap manjat dan merayap di tanah. Hasil akhir: tanah longsor! Saya merosot jatuh, nyangkut di batang pohon. Lalu ngomong sendiri, "Ya Allah, begini amat ya jalan gw. Apa diem di sini aja sampe ditolongin orang? Apa harus muter jalan ya? Tapi kan jauh juga untuk balik ke bukit pandan berduri itu."
Selama beberapa menit saya diam. Pikiran melayang kemana-mana. Ke rumah dan ke orang-orang yang saya sayang. Apa saat itu mereka mikirin saya ya? Ada yang rindu saya nggak ya? Nah, mulai lah mikir aneh-aneh. Kenapa sih, kok susah amat nemu jalan keluar?
Akhirnya saya memutuskan untuk bergerak. Puter jalan lah daripada stuck di batang pohon. Toh tujuan saya jelas: bukit pandan berduri. Nggak bakal ketuker penandanya. Jadi, berjalanlah saya. Melenceng agak jauh, tapi jalannya enak, lurus dan besar. Ketika saya ada di titik bisa belok ke bukit pandan berduri, saya malah mendengar suara teman-teman saya. "Eh, siapa tuh ada suara orang? Sabillaaa..." Mendengar nama saya dipanggil saya melangkah cepat ke sumber suara, meski sebenarnya dalam hati tetap ingin berbelok arah yang saya tuju semula.
Sampai di tempat teman-teman saya, tiba-tiba fasilitator kelompok kami muncul dan mencatat waktu ketibaan saya sambil berkata, "Cuma Bu Iid yang muncul di tempat finish yang seharusnya. Teman-teman yang lain agak melenceng."
Ekspresi nggak jelas nemu finish line |
Bengong lah saya. Apa saya senang? Biasa saja, karena masih memikirkan si bukit pandan berduri tadi. Kalau saja Allah nggak bikin saya jatuh. Kalau saja saya tetap diam tak bergerak di batang pohon. Kalau saja saya nggak memutuskan putar jalan, saya nggak akan menemukan jalan keluar yang benar.
Emang kadang begitu. Harus dibikin jatuh dulu untuk tau jalan yang harusnya ditempuh itu mana. Sama kayak kita. Kita menuju ke arah yang sama. Mencari kebahagiaan. Mungkin sudut kita berangkat yang beda. Mungkin pada akhirnya melenceng dari yang diharapkan.
Kalau kata Dhini: yang penting jalan terus, pasti ada finish-nya. Meski harus muter, atau kena duri, atau jatuh. Dan jangan sering-sering lihat ke belakang atau ke bawah, malah tambah takut. Manjat aja terus.
So, let us be strong, be good, let's keep on moving with our own way. Let's meet at the top!
2 comments:
life has its mystery ....#apeu..semangatt kakaaaa.:*
Makasih kakak... Semangat juga ya :*
Post a Comment