akhirnya saya sampai di sini
Satu lagi titik pemberhentian. Dieng. Wonosobo, Jawa Tengah. Sebuah plato dengan posisi ketinggian yang menakjubkan. Negeri di awan, begitu orang-orang menyebutnya. Tempat dimana panca indera tak bisa menduga hasil tangkapannya. Bukan tanah sembarangan. Negerinya para dewa.Dieng di bulan Juli. Disebut sedingin Eropa dengan suhu mencapai 10 derajat celcius, yang memaksa saya memakai baju berlapis-lapis komplit ditutup jaket dengan sarung tangan dan kaos kaki yang tebal. Kulit pun dikejutkan dinginnya yang benar-benar menusuk dan tak membiarkan celah di tubuh merasakan sedikitpun rasa hangat.
teman-teman baru, dari asing jadi asik
Dieng di malam hari. Tidak akan ada yang berani mandi tanpa air panas. Bara api di tungkulah yang akhirnya jadi penyelamat berbagi cerita. Wajah-wajah yang tadinya asing, jadi terlihat bersahabat. Tak perlu bertukar identitas, ngobrol saja seadanya, ditemani susu jahe penghangat suasana. Jadi, jangan heran kalau anak-anak Dieng pipinya bersemu merah karena setiap malam mereka dekat dengan tungku.
Dieng di bulan Juli. Ketika kemeriahan pesta rakyat mulai terdengar, siapa yang tidak tergoda? Membekukan hal yang jarang kami temui di kota. Pertunjukan wayang kulit, mengisi perut dengan bakso dan minum purwaceng hingga tercipta kehangatan mendadak yang diprakarsai pose-pose penuh gaya. Kalau kembang api? Ah, itu sudah biasa di Jakarta. Yang jelas, jangan lupa beli carica ya.
Dieng di malam hari. Menyembunyikan diri di balik selimut tebal dan pelukan hangat dari sahabat. Menempelkan segaris koyo di ujung atas hidung. Mengusir dingin dengan harapan menjemput matahari terbit esok harinya.
Menjelang subuh. Entahlah mungkin suhu lebih rendah dari 10 derajat celcius. Kupluk, hoodie, capuchon, atau penutup kepala jenis apapun membuat para pengejar matahari ini sekilas nampak bagai pedagang sayur di pagi hari. Hanya alat membekukan waktu di tangan masing-masing lah yang membedakan.
Desa Sembungan. Tertinggi di Pulau Jawa. Mengejar golden sunrise di Bukit Sikunir kala fajar. Menyapa Telaga Cebong, memandang Gunung Pakuwojo. Keindahan sempurna tanpa mulut sanggup menggantinya dengan kata. Mungkin ada ribuan 'klik' pagi itu yang mengabadikan indahnya.
bunga hortensia (tengah), bunga liar (kiri atas), kentang (kanan atas), daun bawang (kiri bawah), dan carica (kanan bawah)
Kawah Sileri, Sumur Jalatunda, Kawah Sikidang dan jangan lupa Telaga Warna. Semuanya hanya membuat saya merasa semakin kecil dan ketagihan menjelajah. Meski lelah dengan medan naik-turun yang tiada henti, begitu lukisan-Nya terpapar megah di hadapan saya, hanya puja yang ada.jalan di Kawah Sileri
Sumur Jalatunda. Lempar batunya. Kalau perempuan sampai tengah sumur, kalau laki-laki harus melewati sumur. Katanya, keinginan terpenuhi. Oia, 1 batu Rp. 500,-
Telaga Warna
Dieng. Awal Juli, siang hari. Ruwatan anak gembel di Komplek Candi Arjuna. Iya, anak-anak Dieng itu rambutnya melekat, gembel. Penyebabnya karena penyakit panas. Katanya, mereka harus diruwat dan dituruti keinginannya agar sembuh. Entah mengapa, saya lebih senang melihat rambut mereka tetap gembel. Lebih eksotis.
ruwatan anak gembel
Dan akhirnya parade keindahan ditutup dengan menikmati seporsi mie ongklok. Kembali ke realita. Kembali berjuang di kerasnya ibukota.Mie Ongklok, makanan khas Wonosobo, seporsi Rp 20.000 sudah dengan minum
Dieng. Juli 2012. Subhanallah. Aku padamu...teman-teman baru, hangat mendadak, bikin susah move on
2 comments:
aaaaak, aku mau dong ke dieng... >.<
Iya Kakak Munch, at least sekali seumur hidup mesti dilihat. Tracking-nya agak capek, tapi emang bagus banget buat dilihat. Aku kmrn bareng anak2 backpack jd ekonomis. Hehehe
Post a Comment