Dalam mimpiku semalam. Kamar asrama-nya Dewa Ayu Utami Kinasih semasa kuliah di UI 7 tahun yang lalu.
Pembicaraan filosofis itu berlangsung. Hanya aku, kamu dan kaleidoskopmu. Berdampingan di tempat tidur single bed-mu. Kamu dalam posisi terlentang dan aku gundah di sampingmu. Kakimu menyilang, tanganmu memain-mainkan kaleidoskop itu. Pandanganmu menerawang jauh.
Aku dan masalahku, sambil duduk dengan hati bergejolak. Ingin bergerak maju mengimbangi waktu namun hati dan pikiranku tak kuasa membeku. "Gw pengennya cepet selesai masalah gw Mi. Gw langsung sembuh gitu. Udah nggak kuat hatinya kayak karet gini. Kadang tenang, kadang rusuh. Sakit mulu..."
Kamu menjawab tenang, bagai seorang biksuni pulang bertapa. Harusnya aku geli melihatmu, tapi nyatanya aku menginsyafi. "Liat kaleidoskop ini. Lo nggak akan melihat keindahannya kalau kerlingan manik-maniknya jatuh sekaligus. Memang mesti kayak gini Ied, jatuhnya satu, satu... nanti lama-lama lo akan melihat keindahan itu berpendar karena elo sabar menanti sampai kerling terakhir jatuh. Saat ingin kembali ke posisi semula yang sempurna pun, mesti pelan-pelan. Biar ajeg," katamu.
Aku takjub. Harusnya kalau bukan di dalam mimpi, aku lah penguasa kaleidoskop itu. Aku yang biasanya memainkan itu di kamarmu dan selalu merasa damai setiap kali melihat keindahannya. Kali ini kamu datang dalam mimpiku. Menyemangati aku akan hal sederhana yang sudah lama kulupakan.
Ya, kadang kegalauan pun mengundang kawan lama bertandang.
Demi Tuhanku, demi kamu, demi orang-orang yang kusayangi, dan menyayangiku, aku harus membaik dan selalu memupuk niat baik.